Sunday, December 08, 2013

Hadiah Terindah


Sudah tiga tahun kami menjalani hubungan ini. Leny, sosok gadis sempurna idaman para pria. Matanya sayu, hidungnya mancung, rambutnya hitam legam tak panjang hanya menjuntai hingga sebatas pundak, bibirnya mungil kemerahan, kulitnya putih bersih. Belum lagi tutur lembut dan rasa sayang yang begitu tulus dari dalam hatinya. Aku tak bilang ia bagaikan bidadari yang turun dari Surga, namun jika kau ingin melukiskannya demikian, ya tak apa. Sungguh tak akan rela aku kehilangannya. Begitu beruntungnya aku bisa memilikinya. Lelaki mana yang tak iri melihatku berjalan bersamanya.

Aku akan selalu berusaha membuatnya tersenyum, aku tak rela jika harus melihatnya terpuruk oleh kesedihan dan merenung dalam kepedihan.  Mendapatkannya saja sudah setengah mati, apalagi jika harus kehilangannya bisa mati aku. Aku tak akan rela membiarkan air matanya yang berharga jatuh menetes di pipinya. Seberat apapun yang harus aku lakukan, asal dia bahagia akan kulakukan. Aku begitu mencintainya. Ini semua karena cinta. 

Seikat mawar merah adalah kembang yang paling ia suka. Aku ingat seikat mawar yang kubawakan pertama kali untuknya, pipinya merah merona, tak kalah merah dengan mawar merekah yang kubawa. Aku begitu bahagia saat itu, karna berhasil membuat lidahnya kelu. Ia hanya tersenyum malu-malu lalu memelukku. Hatiku melayang, rasa senang yang membuatku terus terbayang-bayang. Sejak saat itu, sudah tiga tahun pula, setiap sore, setiap hari saat aku bertemu dengannya tak pernah terlewatkan setangkai mawar merah. Meski tak selalu seikat, namun pasti akan kubawakan mawar merah itu untuknya. 

Hari ini adalah hari ulang tahunku. Bukan hari yang spesial menurutku, karena tiap hari adalah spesial buatku, itu karena dia yang selalu ada menghiasi hari-hariku. Aku tak berharap sebuah kado istimewa darinya, bisa melihat senyumnya saja sudah lebih dari cukup untukku. Senyumnya selalu bangkitkan semangatku, senyumnya selalu sanggup teduhkan dan tenangkanku dalam tiap alang rintang kerap datang mengusik ketenangan hidupku.

Seikat bunga telah kusiapkan untuknya, berharap aku mendapat senyum yang tiada taranya. Ternyata ini adalah sore yang berbeda, kali ini aku tak datang sendiri. Berpuluh-puluh orang telah berdiri sedari tadi, baik di dalam maupun di teras depan rumahnya. 

          “Maaf hanya ini yang bisa aku berikan,” kataku lirih di sampingnya. “Kubawakan seikat mawar merah kesukaanmu. Kamu suka kan?” Kusandingkan seikat mawar merah itu tepat di lengan kirinya. Kulihat senyumnya merekah manis. Air mata yang ingin kusimpan kini jatuh perlahan, pipinya basah. Percuma tak berubah, ia hanya tersenyum meski matanya telah memejam tuk selamanya. Kadoku hari ini istimewa darinya, sebuah peti kayu berisi jasad yang sudah tak bernyawa. Pagi tadi sebuah mobil tak hanya berhasil merenggut nyawanya namun juga merenggut kebahagiaan yang kupunya.


Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Friday, December 06, 2013

(S)alam Alam (M)alam (Puisi Akrostik)

S-uara jangkrik bersautan memecah heningnya suasana malam. Tak enggan mengumandangkan alunan syair malam, meski malam ini gigil nampaknya begitu ingin tuk memanggil.

A-da yang sedang mereka ingin sampaikan. Tentang malam, tentang keindahan-keindahan  yang belum pernah tersuratkan.

L-angit malam berhias warna cemerlang, membawa rasa sukacita gemilang. Meski hening yang ia suguh, justru di sinilah kurasakan teduh.

A-duh lintang malam, elok nian parasmu. Kelap-kelip cahyamu.  Mengerling bagai sebuah mata yang sedang menggoda, suguhkan pesona yang ada.

M-ata kau buat enggan tuk memejam. Telinga tak henti mendengar bisikan syair malam, lewat angin yang menelusup  perlahan.

A-jakku serta menari dan menyanyi dibawah sinar sang rembulan, beriring kelip cahya lintang berlatar senandung hewan-hewan malam.

L-arutlah aku kini dalam indahnya malam, indahnya keheningan malam. Hanyutkan segala asa yang tertinggal. Padamu malam, kujatuhkan harap  dan mimpi semakin dalam.

A-duh rembulan, janganlah pudar teruslah berpendar. Temani aku hingga pagi kan menjemputmu. Berpendarlah sepanjang malam, agar saat kupandang langit, warnanya tak hanya hitam, agar langitmu tak juga kelam.

M-adah untukmu, untuk malam yang  kupuja keanggunannya selalu. Yang kecantikannya mampu membius dan meredam amarahku.

M-alam, tempatku mengadu. Memandangi langitmu aku tak pernah jemu. Sungguh apalagi yang harus kutulis tentang pesonamu? Cantikmu itu membuatku gagu.

A-ndai kau tahu, tulisan ini tak seindah salam yang kau bisikkan lewat heningnya angin malam. Heningnya hadirkan tenang, meski di jiwa ada amarah yang berenang-renang.

L-ewat tulisan hanya mampu kulukiskan secuil kesenangan, secuil gambaran dari berjuta kepingan nikmatnya alam malam.

A-ngan yang kutitipkan, sandingkan dengan hamparan lintang. Disaat mata memejam, biarkan sinar rembulan yang temaram memelukku hingga bunga tidur kan merendam.

M-alam, terimakasih untuk pesonamu. Untuk terangnya cahya lintang dan rembulan. Untuk nyanyian yang dikumandangkan. Serta yang tak pernah lupa, selalu kau ucapkan dalam sebuah sapa. Salam alam malam. 


#Rumah_Sunyi #Bait_Puisi


Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Tuesday, December 03, 2013

Inilah kehidupan

Kau bilang pada langit
“sepagi ini sudah berselimut awan hitam”
Kau tanya mentari
“apa hari ini kan menyenangkan?”
Hanya keraguan dan keresahan yang membayang
Selalu hadir dan membuatmu bimbang

Kawan
Ini adalah jalan kehidupan
Inilah lembar cerita kehidupan
Selalu ada rintangan dan tantangan
Kerap datang dan selalu menyakitkan
Namun, inilah jawaban menuju kedewasaan

Apa yang ingin kau ceritakan,
Tentang perjalanan hidup yang menyakitkan?
Apa yang ingin kau dendangkan,
Gumam kehidupan yang menyedihkan?
Ya. Semua orang pernah merasakan

Kawan
Lihat, kau tak sendirian
Berdiriku di sini adalah sebuah alasan
Dengar, ini adalah ujian
Kelak ia akan tunjukkan apa yang kan kau dapatkan
Cacian atau sebuah pujian
Rasakan, perlahan segala macam rintangan
Yang kan membuatmu kuat tuk bertahan
Kan tiba saatnya menuai keberhasilan
Yang kan berikan lebih dari sekedar kebahagiaan

Tak ada guna jika hanya memikul sebuah penyesalan
Tak ada guna jika terus memikir kesalahan
Anggap semua itu hanya kenangan
Kenangan yang memberimu sebuah pelajaran
Penuh makna meski ciptakan beberapa sayatan
Masa lalu jadikanlah batu lompatan
Agar ia tak jadi sebongkah batu sandungan

Kawan
Buatlah pergerakan
Mari bangkit perlahan
Tunjukkanlah sebuah perubahan
Angkat kakimu, lalu langkahkan
Arahkan mata ke depan
Di depan sudah ada jalan pengharapan
Usah kau tangisi lagi semua kepedihan
Kembangkanlah sebuah senyuman
Pikirkanlah semua kesenangan yang dijanjikan
Agar tak jadi beban dan keputusasaan

#Rumah_sunyi #Bait_Puisi

Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Thursday, November 28, 2013

Mimpi

Bayangannya masih samar-samar  terlihat dianganku.

“Siapa dia? Kenapa dia dalam mimpiku?” Gumamku perlahan.

“Ciumannya yang hangat begitu meneduhkan. Siapa dia? Aku tak pernah bertemu dengannya. Aku tak mengenalnya, tapi rasanya aku ingin bersamanya. Aku mencintainya.” Ucapku penuh tanda tanya.

Jam di dinding masih menunjukkan angka 02.00 dini hari. Peluh dingin telah membuatku basah, dan gadis dalam bunga tidur tadi membuatku resah.

“Ya, aku harus menemuinya lagi.” Kataku pasti.

***

Kutenggak obat tidur yang berhasil kutemukan di laci meja. Tak tanggung-tanggung kuminum lima butir pil yang ada dalam genggaman tanganku. Dengan harap aku bisa menemui gadis itu dan bisa berlama-lama dengannya lagi meski hanya di alam mimpi.

Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Lukaku Bahagiaku

Ini kisahku, bukan kisah bawang merah dan bawang putih. Semenjak kecil aku tak pernah mengenal rasa sayang.  Aku diterlantarkan begitu saja oleh kedua orang tuaku; aku tak pernah melihat bagaimana bentuk rupa mereka. Tak ada yang tahu siapa ibu dan ayahku.  Aku dibesarkan oleh seorang janda yang menemukanku didepan pintu gerbang rumahnya. Bukan kasih sayang yang aku dapatkan, hanya siksaan dan perintah darinya serta  anak-anaknya.

Aku terbiasa dengan bekas luka dan lebam-lebam diseluruh tubuhku, tak jarang darah sering mengucur dari lukaku. Aku suka merasakan sensasi yang timbul dari luka-luka yang terkena air ataupun alkohol. Aroma darah pun begitu khas dihidungku.

Kini aku beranjak dewasa, usiaku genap  20 tahun. Rumah yang biasanya tak pernah sepi oleh teriakan mereka, kini mendadak terasa lengang. Ya, sekarang rumah ini kutempati seorang diri. Mereka semua telah mati. Aku pikir mereka bahagia, karena itulah yang mereka ajarkan padaku sejak kecil. Mereka tentunya juga ingin merasakan siksaan hingga darah yang wangi itu mengucur dari seluruh tubuh yang penuh luka.

Itulah yang kupelajari semasa hidupku. Kebahagiaan tak harus hidup bergelimang harta. Merasakan sesuatu yang menyenangkan, itu membuatku bahagia. Dan kebahagiaan yang aku rasakan adalah dimana aku bisa menyakiti mereka, dan itu membuatku tertawa bahagia.


Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Wednesday, November 27, 2013

Reruntuhan


Di sana kan kau jumpai
Pada bangunan-bangunan tua
Pada bangunan-bangunan lama
Pada pondasi-pondasi yang rapuh
Pada pondasi-pondasi yang sudah termakan usia
Di sana kan ada runtuh
Runtuh jadi puing-puing
Runtuh jadi serpih
Runtuh tak berbentuk

Ialah yang kusebut reruntuhan
Kala cinta yang dulunya utuh, tiba-tiba jenuh kemudian jatuh
Ialah yang kusebut reruntuhan
Saat temu hanya sebuah mimpi yang jatuh bersama linang air mata di pipi
Ialah yang kusebut reruntuhan
Kala rindu pada Sang Rembulan, tak kunjung temu sebuah rengkuhan
Ialah yang kusebut reruntuhan
Saat kususun semua harapan, lalu sirna ditelan kenangan
Ialah yang kusebut reruntuhan
Saat rasa percaya hanya terbalas sebuah dusta
Ialah yang kusebut reruntuhan
Kala hati kecil ini tak sanggup lagi meminta, akhirnya meronta
Ialah yang kusebut reruntuhan
Saat semua orang mampu tertawa, di atasku yang sedang kecewa

Inilah yang kusebut reruntuhan
Inilah yang kunamai reruntuhan
Aku, harapan, kenangan dan kerinduan yang tertimbun oleh semua bongkahan


Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Tuesday, November 26, 2013

Friendshi(t)p

Di balik sebuah tirai, mengintiplah mataku. Mata yang merah nanar, mata yang penuh luka. Ia tersiksa akibat tak kuasa menahan rasa yang tersimpan di dalam dada. Rasa sesak, yang sepi berhasil ciptakan. Tak kunjung reda. Derai hujan yang sedari tadi sudah mengguyur bumi nampaknya tak kenal lelah. Semua tanah membasah, sedang air sudah menggenang di sudut tengah. Pikiranku meracau kesegala arah. Berjalan kemana, entah. Hati sepi tak ada yang mengisi.  Sedang perih menggelayuti. Mengingat caci yang mereka umpatkan, amarahku sungguh tak tertahankan. Ingin sungguh kulampiaskan. Aku lelah. Ini yang namanya pertemanan? Ini yang namanya persahabatan?

Teman yang pandai memanfaatkan. Sahabat yang selalu menghujat. Hanya ingin menang sendiri
Yang kucari yang kupinta hanyalah seorang kawan. Yang hadir justru mereka, yang pantas disebut lawan. Bukan ketenangan, bukan keteduhan yang mereka tawarkan. Bukan canda, bukan pula tawa yang mereka suguhkan. Hanya duka yang mereka goreskan. Hanya rasa pahit yang mereka seduhkan.

Inikah kenyataan hidup yang begitu hitam? Ya, lebih hitam dari secangkir kopi yang pekat.
Inikah kenyataan hidup yang begitu pahit? Ya, lebih pahit dari secangkir kopi yang pernah kutenggak.

Mungkin, entahlah. Itu yang kurasa.

Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Bingkai Persahabatan

Pernah ada sebuah kisah
Kisah tentang kita
Tentang masa-masa yang indah
Masa-masa yang begitu sangat berharga
Lebih indah dari bintang yang hiasi langit malam
Lebih tak ternilai dari sebongkah batu permata
Ya, ini kisah tentang kita
Tentang persahabatan kita

Hanya mampu menguntai kata
Tertuang segala rasa di atas pena
Hanya mampu membingkai
Semua cerita manis yang dulu kita rangkai
Hanya mampu hadirkan rasa rindu
Rasa rindu lewat lagu-lagu sendu
Kalian takkan tergantikan
Kenangan takkan pernah tergadaikan

Kini
Aku sepi
Aku sendiri
Cobalah tuk memahami
Cobalah tuk sedikit mengerti
Saat air mata mulai berlinang di pipi
Saat harap akan sebuah temu hanya segumpal mimpi

Aku rindu
Semangat yang mampu kalian ciptakan
Semangat yang mampu buatku kuat
Aku rindu
Canda tawa yang kalian tawarkan
Rasanya sungguh menggiurkan
Aku rindu
Caci maki yang kalian umpatkan
Sungguh itulah persahabatan

Aku ingin
Lewati jalanan yang terjal
Jalan yang penuh batu sandungan
Bukan sendirian, namun bersama kalian
Kita lewati sambil berengkuhan
Aku ingin
Lewati jalanan yang berliku
Jalan yang penuh tikung tajam
Bukan sedirian, namun bersama kalian
Kita lewati sambil berpelukan

Namun apa daya
Jika jiwa raga tak lagi bisa bertegur sapa
Kuharap kalian juga tak lupa
Hanya ini yang mampu aku haturkan
Sebait doa yang selalu kurapalkan
Sebait kata yang mungkin tak punya makna


Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Monday, November 25, 2013

Seumpama Seember Air

Beberapa waktu lalu seorang kawan lamaku, menceritakan apa yang terjadi pada jalinan cinta yang sedang dirajut bersama pujaan hatinya. Ia berkata padaku, “Aku jenuh, ia susah tuk diatur. Sudah seminggu aku beradu mulut dengannya. Tak jelas sebabnya, padahal aku begitu menyayanginya, aku tak ingin kehilangannya.”

Aku tak bisa berkata apa-apa selain, “Ya sudah sabar dulu, beri dia waktu. Kalian butuh waktu untuk saling introspeksi diri.”

Sore ini ketika hendak mandi, aku melihat sebuah ember kosong berwarna merah di bawah bibir sumur. Kutimba air dari sumur berusaha mengisi ember kosong tersebut. 
Sudah setengah, kurang sedikit lagi, penuh, dan meluap. Saat ember ini terisi terlalu penuh, yang ada air ini keluar, air meluap. Ember sudah tak mampu menampung air lagi.

Aku terdiam sejenak memandanginya, ada satu pikirku yang terlontar di sana.

Ember ini adalah sebuah lubang dalam hati, yang mana suatu saat pasti akan ada seseorang yang kan mengisinya dengan air (rasa cinta). Namun di sinilah aku tertegun, ternyata ember ini mempunyai batas volume tertentu yang mana itu berarti lubang dalam hati ini juga memiliki kapasitasnya sendiri.

Ya tentu saja, coba bayangkan! Saat perhatian yang dicurahkan oleh seseorang kepada kita adalah berlebihan maka akan berujung sebuah posesif. Air yang meluap adalah rasa yang berlebih, rasa yang sia-sia, rasa jenuh yang ada saat semua rasa yang dicurahkan sudah melebihi kapasitasnya. Maka cintailah seseorang dengan batas kapasitas yang dimilikinya.

Namun semua tak berhenti begitu saja, suatu saat Tuhan kan kirimkan musim yang terik, musim yang panas dimana air dalam ember itu kan menguap dan akan berkurang. Ini saatnya bagi kita mengisi kembali ember dengan air hingga penuh.

Suatu saat Tuhan juga kan kirimkan hujan, dimana air akan meluap kembali. Ini adalah ujian, dimana kita harus bersabar dan menunggu. Karena tak ada yang bisa kita perbuat, selain meneduhkan ember itu dari terpaan hujan.

Sesuatu yang berlebihan ternyata memang tak selalu berbuah manis.


Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Sunday, November 24, 2013

Cermin Kehidupan

Lihat  si miskin perutnya melilit
Ulah si kaya yang begitu pelit
Ulah si otak-otak yang sakit
Janji yang diungkap tak sedikit
Sedang bukti yang tersingkap hanya berbelit-belit

Yang miskin tambah miskin
Yang kaya tambah kaya
Yang kecil ditindas
Yang besar selalu ingin di atas
Yang kalah dianggap salah
Tak ada yang mau mengalah
Semua ingin menang

Aparat keparat
Pemerintah menjilat
Sedang rakyatnya pandai menghujat

Semua orang bisu
Nampaknya lidahnya sudah kelu
Ketika lembar-lembar uang yang maju
Sudah, semua  masalah jadilah lalu
Uang yang bicara
Ironis? Atau lucu?

Keadilan hanya dicari
Tak kunjung ditemui
Hukuman diberatkan
Nyatanya  masih perlu dipertimbangkan
Belas kasihan diucapkan
Nyatanya hanya sebuah ungkapan (“kasihan”)
Hak dituntut
Kewajiban hanya di mulut

Ingin mendapat tapi takut kehilangan
Ingin menerima tapi enggan memberi
Ingin disegani tapi tak mau menghormati


Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Cinta Kita yang Senja di Tepi Sebuah Telaga


Sore ini
Pada dentang lima petang
Di tepi sebuah telaga
Kita saling bergandeng tangan
Angan dibawa melayang
Di bawah sinar mentari yang sudah tak begitu terang

Kita layaknya pohon yang saling bernafas
Berhembus beriringan dan perlahan
Begitu sejuk dan menenangkan
Sejenak kita saling lupakan setiap keresahan
Kita luapkan rasa rindu yang sudah tak tertahankan
Dan saling menjatuhkan setiap permasalahan yang kita genggam

Di langit sana
Awan dan mentari sedang sibuk sendiri
Mereka sedang melukiskan
Lukisan tentang kita ;
Bayang kita yang sedang berjalan
Menyusuri tiap lembar perjalanan cinta

Dalam sebuah pelukan
Kau hadirkan sebuah kejutan
Bukan dengan sebuah ucapan
Melainkan sebuah kecupan

Aku menatapmu dengan berjuta perasaan
Menanamkan padamu sejuta harapan
Menatapmu lebih dalam
Menatapmu lebih dari sekedar sayang
Mendekap hangat semua rasa yang ingin kau tumpahkan

Tatapanmu begitu mendamaikan
Tatapanmu begitu menyenangkan
Disana kurasakan ada jalan
Kurasakan ada ketenangan dan kebahagiaan
Jauh lebih indah
Ketimbang lukisan yang telah senja guratkan


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Friday, November 22, 2013

Salam Hangatku Dari Dalam Radio




Saat mentari mulai bangun dari tempat peristirahatannya, mata terbuka menangkap sinarnya dari balik jendela. Seperti biasa,  radio tua kunyalakan. Hal yang selalu aku lakukan sebelum mengawali aktifitas hari ini. Dari seberang sana mengalun hits-hits lagu Indonesia pop terbaru. Sebuah senyum mendarat di bibirku saat sang penyiar memberikan salam hangatnya untukku.

Tak perlu segelas teh hangat untuk menyemangatiku, salam ini pun sudah lebih dari cukup. Bukan apa, hanya rasa bangga saat namaku disebutnya, rasa lega sepagi ini sudah ada yang menyapa. Tak lain tak bukan sang penyiar adalah rekan kerjaku di sebuah stasiun radio swasta di kota ini.

Aku adalah seoarang pelajar yang masih duduk di bangku SMA, namun kegemaranku akan musik dan penikmat suara radio ; membuatku berusaha tuk melakoni dan terjun ke ranah penyiaran. Tiap pukul 20.00 hingga 22.00, akulah yang menemani ruang dengar para radioholic dalam acara “Penghantar Tidur”. Sebuah alunan instrumental Loving You dari Kenny G menjadi latar di sela suaraku menyapa para pendengar ataupun ketika sedang membacakan pesan salam mereka. Lagu-lagu yang kuputar pun lagu bernuansa lama, lagu yang memiliki beat lambat baik dari manca maupun pop Indo.

Kini aku merindukan hal itu lagi. Duduk di depan monitor, membaca pesan yang tertera di layar komputer, menghirup udara di dalam ruang yang kedap suara.  Aku rindu microphone gantung yang tak pernah jauh dari depan mulutku. Aku rindu sebuah headphone yang selalu melekat di telinga.Meski di ruang itu sendirian, namun tak ada rasa sepi yang kurasakan. Canda selalu ada saat aku mulai berbincang  dengan pendengar lewat telepon, sedang tawa selalu hadir kala ada pesan-pesan salam yang lucu dari mereka atau bahkan pesan  yang tak bisa kubaca, karna pesan yang disingkat-singkat. Aku rindu rasa puas dalam dada saat bisa menemani mereka semua meski hanya lewat ruang dengar saja, sungguh rasa yang tak bisa kulukiskan dalam sebuah kata. 



© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Begitu Riuh Namun Sepi



Pagi ini, mentari bersinar tak biasa. Ia hadirkan gigil yang luar biasa. Awan hitam pekat menyelimuti langit kota ini, hadirkan rasa sepi yang menusuk ulu hati. Sepagi ini rasa sunyi sudah menghampiri, sungguh rasa yang buatku nyeri.

Seperti biasa, waktu berjalan perlahan kurasa. Nampaknya rasa ini betah tuk berlama-lama. Hingga kala siang pun mulai menyapa, rasa ini masih bertahan tak urung pergi. Gelak tawa berhamburan di luar sana, begitu riuh terdengar koar-koar mereka. Tak jelas, aku hanya berusaha menerka, aku hanya mampu tuk meraba. Aku tak mengerti bahasa mereka. Ada canda yang mereka tawarkan, ada kesenangan yang mereka suguhkan. Namun tak satupun aku dapatkan. 

Aku tahu, aku berjalan tak sendiri. Namun hati ini adalah penyendiri. Seriuh apapun hari ini, seriuh apapun keadaan berusaha menyandingi, ia tak mampu tepiskan rasa sepi dan sunyi dalam hati yang sudah terlanjur mati.

Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Rinduku Ingin Pulang


Kau tahu Tuhan anakMu telah beranjak dewasa, perlahan meninggalkan masa-masa yang lama. Bukan bahagia yang kurasa, yang ada hanya kesedihan dalam bertambahnya usia. Semakin tua semakin merajalela, penuh dosa dan penuh murka. Aku rindu aku yang dulu, yang lugu dan malu-malu. Bukan ini! Manusia keji tak tahu malu. Dulu, selalu kuserukan namaMu dalam setiap hembus nafasku, kini kuhujat namaMu dalam tiap jengkal amarahku. Tuhan, aku rindu aku yang dulu. Aku rindu suaraMu yang mampu teduhkanku dalam tiap lantunan doaku. Aku rindu saat indah bersamaMu. Aku rindu peluk hangatMu di tiap syair kidung lagu. Tuhan, aku ingin pulang ke masa itu.

Malang, 2013 


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Thursday, November 21, 2013

Senja Buta Tanpa Jingga

Aku tahu kau serupa bidadari senja
Selalu memelukku dengan manja
Menemaniku dalam suka
Dan menepis segala duka
Namun kini semua berbeda
Semenjak kau telah tiada
Dulu..
Kau datang dikala senja, membawa warna jingga
Kini..
Kau pergi dalam senja, jingga kau ajak serta
Apa kau lihat?
Lihatlah,
Senja tak lebih terang dari nyala pelita
Senja hanya gelap gulita
Senja telah menjadi buta

Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Senja Terakhir


Di semboja yang kau gugurkan
Di bunga mawar yang kutaburkan
Air mata terpaksa kuteteskan
Di nisan yang kau tancapkan
Hanya kenang yang kau tinggalkan?
Angin mendesir semilir, perlahan dan bergilir
Sang waktu terus bergulir
Membias kenangan yang telah lama terukir
Cerita kita terpisah dalam takdir

Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Pudar Bersama Senja


Kuhempas lelah dalam jiwa, seharian di dunia nyata hanya membuatku terluka
Di sini nyaman kurasa, lamunan dunia maya
Membiarkan mata terbuka, memantulkan wana jingga
Hari ini begitu lama, hari yang tetap sama seperti biasa
Tak ada yang bermakna, mungkin karena aku manusia hina
Hanya senja yang kerap dan akrab menyapa
Setahuku inilah senja, yang warnanya aku suka
Yang indahnya hapuskan dahaga dijiwa
Sayang ini pun tak lama, hanya sekejap mata
Semburat warna jingga diganti gelap gulita
Dimana sinar Sang Surya yang mampu indahkan senja?
Hanya mampu hadirkan tanda tanya.
Ramahnya tak bertahan lama, padahal aku masih ingin bersama
Sesungguhnya jiwa ini meronta, minta apa yang tak kudapat di alam nyata
Namun apa daya, hanya mampu teteskan rasa di atas pena
Tak apa masih ada esok dan lusa, kita tulis tentang kita
Agar mereka tahu apa yang kita rasa, tak berdaya dan terbelenggu asa
Dan mataku mulai terpejam dalam pudarnya warna senja
Pudar perlahan didekap sang malam.


Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved