Tuesday, May 05, 2015

Sepucuk Surat Terima Kasih


Untuk kalian yang aku sayangi..

Entahlah aku tak punya kata yang menurutku cukup layak untuk menyapa kalian yang akan membaca tulisan ini. Tentunya mungkin pertama kali yang ingin aku ucapkan adalah terima kasih, karena sudah bersedia sejenak meluangkan waktu untuk sekadar membaca tulisan ini

Sehari yang lalu, di bulan Mei yang keempat usiaku genap 22 tahun. Sebagai manusia tentulah umur sekian masih jalan yang panjang untuk menapaki jalan kehidupan, yang kian hari pasti punya pencobaan tersendiri. Entah apa yang seharusnya dapat aku rasakan di hari yang menurut kebanyakan orang merupakan hari berbahagia atau hari penuh ucapan syukur. Bahagia? Seharusnya. Bukan berarti aku tak merasakan kebahagian atau sukacita, jauh lebih dalam. Ada haru di sana. Meski aku akui ada sedikit perasaan ganjil yang berusaha aku genapkan.

 Dengan tulisan ini aku berharap ucapan terima kasihku bisa tersampaikan ke semua orang yang telah mendoakan. 

Yang pertama untuk teman-teman semua yang sudah mendoakan. Terimakasih, doa yang sama pula untuk kalian. 

Yang kedua teruntuk keluarga besar Monday Flash Fiction. Mungkin aku ialah seorang bocah yatim piatu yang kehilangan rumah beserta keluarga dan seluruh cinta. Kemudian di sini kalian tak hanya menerimaku menjadi sebatas teman, tapi juga keluarga.  Terima kasih kalian yang ada untuk selalu menguatkan, untuk selalu mendukung, untuk menghadirkan sebuah suasana sukacita, dan kerap kali melepaskanku dari ketersendirian. Terima kasih, meski belum lama bergabung tapi di sini aku merasa nyaman. Terima kasih kalian baik yang mendoakan, mengabadikan namaku dalam sebuah cerita, menyanyikan sebuah lagu untukku, atau lainnya. Sungguh sebuah kado yang cukup untuk meluluhkan perasaanku, membuatku larut dalam keterharuan. Tak ada yang bisa aku ucapkan selain ribuan terima kasih. Kalian menyadarkanku satu hal; sekecil apapun ketulusan yang diberikan, akan berarti besar dan berharga bagi yang menerima. 

Yang ketiga untuk teman-teman coffebar. Terima kasih atas doa-doa yang kalian berikan. Meski sejujurnya aku berharap lebih, dalam artian kita bisa menjadi utuh kembali seperti dulu. Tapi segala yang nyata mungkin memang akan lebih dari yang maya.

Yang terakhir, entah kau akan membacanya atau tidak. Terima kasih untukmu yang sekadar datang tiba-tiba, seperti nafas yang dalam berembus sekali kemudian hilang lagi. Terima kasih meski doamu melantun di dentang paling akhir, namun setidaknya cukup untuk membuatku melepas senyum. Setidaknya aku tahu jauh di lubuk hatimu paling dalam masih ada aku. Dan sekali lagi kau kembali, dan aku masih belum punya alasan tuk membenci.




Salam dariku, yang berbahagia...












Wednesday, April 15, 2015

#FFRabu ; CANTIK ITU BEBAS BULU


         Mungkin  benar kata rekan seprofesiku; parasku kurang cantik, tubuhku kurang menggairahkan, atau belum berpengalaman karena masih seminggu. Aku tak punya pilihan lain, hanya dengan cara ini aku bisa mengenyangkan perutku juga hasrat birahiku.

        “Dapat berapa pelanggan semalam?”

        “Nggak ada.”

        “Gimana Om-om itu bakal tertarik, kalau kaki-kakimu berbulu lebat seperti itu? Ini coba pake! Cantik itu bebas bulu”  katanya dengan nada ala iklan perontok bulu di TV.

         Aku terdiam menatap botol yang ada dalam genggamanku. Bagaimana mungkin aku akan terlihat cantik dengan perontok bulu ini. Cantik itu perihal paras, bukan kaki.

        “Bambang, jangan cuma dilihat. Coba oleskan!” Teriakannya, seketika membuyarkan lamunanku.

Wednesday, February 18, 2015

#FFRABU ~ SEIKAT MAWAR DAN ANGPAU MERAH UNTUK YESSI




Pukul 17.00. 14 Februari, hari Valentine. Sepulang kantor aku tak langsung pulang. Aku akan melewatkan malam ini dengan kekasihku: Yessi.

“Ini mawar untukmu.” Aku meraih pundaknya, kemudian mengecup keningnya.

Film animasi Big Hero 6 milik Disney jadi pilihannya. Ia begitu menikmatinya.

            Pukul 19.20. Kami tak langsung pulang. Aku mengajaknya ke Hotel yang tak jauh dari movie box ini. Kami bercinta. 

            “Ini angpao untukmu, Sayang.”

            “Tapi Yessi nggak ngrayain Imlek. Imlek juga masih lama.”

            “Simpan saja, sekalian buat beli cokelat.” Aku meraih pundaknya kemudian mengecup bibirnya. Lagi.

            Meski Yessi masih berusia 16 tahun, yang tak lain teman sekelas anakku. Aku menikmatinya.







Kediri, 18 Februari 2014

Wednesday, February 04, 2015

(#FFRABU) KOPI UNTUK BAPAK



Bapak orang yang keras dan ringan tangan. Apapun yang dirasa tidak benar, kerap kali membekaskan memar di wajah Ibu dan tak jarang juga punggungku. Kebiasaan Bapak minum kopi, mirip cara minum obat  orang sakit: 3 kali sehari. Tidak boleh telat. Bapak bisa murka.

“Aja lali nggawe kopi kanggo Bapak ya Nduk, ben slamet.”1 Pesan Ibu padaku, sebelum pergi.

Dua hari lalu Ibu meninggal. Aku anak semata wayang. Mau tak mau aku harus menggantikan posisi Ibu mengurus dapur. Memasak atau sekadar membuatkan kopi untuk Bapak. 

 “Pak, menika kopinipun. Monggo dipun unjuk.”2 kataku gemetar, sambil menaruh kopi itu di sudut kamar Bapak.



NB : 
Jumlah 100 kata, belum termasuk judul.
1. “Jangan lupa membuat kopi untuk Bapak ya Nduk (sebutan untuk anak perempuan di Jawa), agar selamat.”
2. “Pak, ini kopinya. Silakan diminum.”


Kediri, 4 Februari 2015

Monday, January 26, 2015

Ulang Tahun Pernikahan yang Kedua


Dua tahun lalu aku  menikah, dengan seorang pujangga. Dia seorang pria berparas tampan, perawakannya tinggi tegap, kulitnya sawo matang. Sebenarnya tak ada yang begitu spesial darinya. Hanya saja, di malam pertama aku melihatnya aku langsung terpana. Bukan cinta pada pandangan pertama, lebih tepatnya cinta pada pendengaran pertama. Malam itu, ia membacakan sajak keras-keras di atap rumahnya – aku tak sengaja mendengarnya. Sajak tentang sebuah penantian. Sajak yang akan membuat daun-daun telinga terasa segar. Sajak yang akan membuat semua hati bergetar. Aku jatuh cinta pada seorang pujangga kesepian.

Jika benar mencintainya adalah suatu dosa, maka biarkanlah maut jadi sanksinya. Sejak malam itu, aku sering diam-diam mengawasinya. Tiap malam. Telinga dan jiwaku haus akan sajak-sajak yang dilantunkannya. Sajaknya kerap kali membuatku iba, hingga membuatku bercucuran air mata. Keputusanku bulat, aku akan menjadi pendamping yang selalu dinantikannya. Aku akan jadi bidadari yang melepaskannya dari belenggu kesendirian.

            Kami hidup bahagia.  Ada tawa di mana-mana. Mulai dari ruang tamu, kamar mandi, kamar tidur, hingga atap rumah tempat kesukaan kami berdua. Tiap malam, sebelum tidur dia selalu membacakan sebuah sajak spesial untukku. Bukan sajak penantian lagi, melainkan sajak-sajak cinta yang penuh dengan puja-puja. 
 
            Belum genap setahun usia pernikahan kami , Tuhan murka. Seorang bidadari tak layak menikah dengan anak manusia. Sebuah dosa. Aku pun ditarik paksa ke angkasa. Tapi aku percaya Tuhan itu Maha Cinta.

Tuhan pun luluh, mendengar doa-doa yang kami panjatkan. Tuhan iba dengan kesetiannya. Dan malam ini, adalah malam ulang tahun pernikahan kami yang kedua.  Tuhan memberi kado istimewa, seharian ini kami boleh tinggal bersama.




NB: dikembangkan dari sebuah fiksimini.
ULANG TAHUN PERNIKAHAN YANG KEDUA. Tuhan memberi kado istimewa, seharian ini kami boleh tinggal bersama.


Kediri, 26 Januari 2015