Sunday, June 15, 2014

Permainan yang Tak Selesai

Banyak cara untuk bersenang-senang dalam bersahabat. Kita hanya perlu mencari hal-hal yang kita anggap paling layak untuk kita mainkan bersama-sama. Aku punya cara sendiri untuk menikmatinya dengan sahabatku. Kau ingin tahu? Baiklah kini akan kuceritakan padamu satu permainan yang sering kulakukan bersama sahabatku; Reno sebelas tahun lalu.
Kami tinggal di pinggiran Kota, jauh dari hingar kendaraan yang lalu-lalang tanpa kenal waktu. Butuh dua puluh langkah ke timur dari rumahku, untuk sampai di rumah Reno. Usia kami masih 13 tahun waktu itu. Kami adalah sahabat akrab, baik di sekolah maupun di rumah. Di kampung, kami terlihat seperti saudara kandung. Bagaimana tidak, kami bak pepatah dimana ada gula di situ pasti ada semut. Tak jarang kami juga tidur bersama, entah itu di rumahnya atau di rumahku. Orang tuaku tak pernah keberatan ketika Reno sering menginap di rumahku, begitu pun sebaliknya. Aku adalah anak tunggal, sedangkan Reno memiliki seorang kakak perempuan yang waktu itu sedang menyelesaikan bangku perkuliahannya di Kota. Bisa dibilang kami senasib, kami saling membutuhkan satu sama lain. Kami akan saling merindukan dan kesepian kala liburan Hari Raya Idul Fitri menjemput, karena aku harus ikut Bapak dan Ibu mengunjungi Nenek yang ada di dalam pelosok Desa.
Seperti biasanya setelah pelajaran sekolah usai; pukul 12.45, kami kayuh sepeda kami. Ya, kami sering melakukannya, kami beradu cepat sampai di depan rumahku. Kau pasti sedang bertanya-tanya, apa temanku hanya Reno seorang? Tidak, tentu kau tahu. Tapi harus kukatakan padamu, aku adalah anak yang pemilih. Tak sembarang anak bisa bermain denganku, jika aku merasa tak nyaman maka aku akan menjauh pergi. Kau pasti tahu, kau pasti pernah melihat bocah-bocah pinggir Kota, dengan pakaian-pakain apa adanya, dengan wajah-wajah kumal akibat seharian bermain di ganasnya terik mentari siang. Belum lagi mulut-mulut mereka yang menggonggong liar tanpa aturan, itu yang membuatku malas bergaul dengan mereka. Meski aku juga anak pinggiran, tapi aku dididik dengan keras oleh Bapak dan Ibu yang mengutamakan sopan santun dan tata krama. Berbeda lagi dengan Reno. Reno adalah anak orang berada, namun kedua orang tuanya mengajarkannya kesederhanaan. Itulah alasan aku memilih Reno sebagai sahabatku, dan orang tua kami pun juga tidak keberatan kami bersahabat.
Sore itu sehabis kami mengerjakan PR bersama-sama di rumah Reno, seperti biasanya kami bermain mencari harta karun. Reno yang pertama kali memiliki ide permainan ini. Kali ini giliranku yang harus mengisi aqua-aqua bekas dengan sepucuk kertas, yang berisikan sebuah petunjuk yang bisa berupa clue atau penunjuk arah, dimana  harta karun itu berada. Pertama-tama aku harus menyembunyikan harta karun - kotak kayu, yang di dalamnya terisi penuh oleh kelereng berwarna-warni. Sebuah tumpukan kardus-kardus bekas yang ada di belakang rumahku jatuh sebagai pilihanku. Sementara itu Reno harus berdiam diri di dalam kamarnya, sembari menungguku selesai menempatkan lima aqua sesuai dengan posisi penunjuk arah yang kutulis sebelumnya.
“Sudah,” teriakku dari luar rumah Reno.
“Lama banget nyembunyiin gitu aja,” sahutnya sambil berjalan menghampiriku.
“Biar kamu nggak dapet harta karunnya,” jawabku sambil terkekeh.
“Pertama-tama kamu harus jalan ke belakang rumahmu, cari satu pohon yang daunnya sering dibuat bungkus makanan atau beberapa jajanan pasar dan buahnya adalah makanan kesukaan saudaramu. Di sana kutaruh botol aqua pertama,” aku tertawa terbahak-bahak, sejadi-jadinya mendengar Reno menggerutu sendiri karena ledekanku.
Sudah hampir satu jam, aku menunggu di teras rumahnya. Reno masih belum nampak juga batang hidungnya. Aku mulai cemas. Aku hanya takut kalau-kalau aku salah, aku berpikir apa dia benar-benar marah karena aku meledek bahwa monyet adalah saudaranya. Tak mungkin. Kau tahu, Reno adalah anak yang paling baik dan tidak pernah marah ; terutama padaku. Reno sudah serupa kakak untukku, dia selalu berusaha melindungiku, mengajariku, memperhatikanku dan tak pernah jauh dariku. Kuputuskan menyusulnya ke kebun belakang rumah, memastikan bahwa dia masih ada disana – mencari botol-botol aqua yang kusembunyikan.
Betul seperti dugaanku, dia takkan marah dan meninggalkanku. Reno masih di sana, namun beda dengan harapanku. Keringat-keringat dingin sebesar biji jagung mulai jatuh dari ubun-ubunku. Degup jantungku yang tadinya bertempo lambat,  harus berubah menjadi detak yang tak karuan – tak berirama. Dalam dadaku serasa ada sekumpulan bocah yang tadinya ingin menyalakan api unggun, namun kini jadi kobaran api yang menyambar-nyambar, dan kepulan asapnya – menyesakkan dada.  Mataku nanar. Entahlah, aku tak mengerti perasaan apa ini. Sebelumnya tak pernah seperti ini. Aku melihatnya bersama anak lain, teman kami satu kelas juga di Sekolah. Kau tahu, aku tak suka anak itu – Buyung. Dia yang sering mengejek ibuku mandul, tak bisa melahirkan anak lagi. Dia yang juga sering menggangguku di kelas; menyembunyikan buku PRku misalnya, melempariku dengan kertas atau  penghapus karet, kadang juga mengempesi ban sepedaku. Aku membencinya.
Aku melihat Reno dengan lincahnya sedang memanjat pohon mahoni. Dia sedang mengambil layangan milik Buyung yang tersangkut di atas sana. Dengan badannya yang tambun, tentu saja Buyung takkan mampu memanjat pohon mahoni yang cukup besar dan tinggi. Aku benci melihat adegan itu. Permainan kami harus terhenti hanya karena Reno harus membantu Buyung mengambil layangannya. Bukankah seharusnya Reno tahu, untuk apa menolong Buyung – anak yang selama ini sering menyakiti perasaanku.
Kuceritakan padamu, semenjak kejadian itu, aku lebih memilih untuk diam dan menyendiri. Perlahan-lahan aku mulai menjauh dari Reno. Kau tahu apa yang terjadi? Reno lebih akrab dengan Buyung sekarang.  Entahlah, itu mungkin perasaanku saja; atau karena salahku sendiri menjauhinya. Tiap kali aku melihat dari balik jendela, mereka berdua nampak bersuka ria, tertawa riang sambil menerbangkan layang-layang. Apa Reno bosan bermain denganku? Apa Reno bosan bermain menemukan harta karun lagi? Aku hanya merasakan, ada sebongkah batu besar yang dilempar keras tepat di dadaku. Sakit. Aku hanya bisa membiarkan air mataku menggenang di sudut-sudut mataku, ia tak mau jatuh. Aku tak paham, perasaan apa ini.
Aku menghela napas panjang.
Kutuliskan cerita ini untukmu. Dari sebuah kamar yang sempit dan usang, di pusat Kota. Sore itu, tepat satu minggu setelah permainan mencari harta karun yang tak selesai. Aku menunggu Reno sepulang sekolah, di belakang rumahku, di samping tumpukan kardus-kardus tempat dimana aku menyembunyikan kotak kayu yang terisi penuh oleh kelereng warna-warni. Kami berjanji akan bertemu di sini. Sembari menunggunya, aku menjalankan perintah Ibu; menyapu kebun belakang yang penuh daun-daun dan ranting kering, kemudian membakarnya bersama sampah-sampah kering lainnya.
“Ini harta karunnya. Kau gagal,” kusodorkan kotak kayu itu.
“Maaf. Waktu itu bukannya aku lupa, tapi adzan maghrib sudah berkumandang. Aku mencarimu, tapi kau tak ada,” jawabnya dengan suara penyesalan.
“Sudahlah lupakan. Selama satu minggu ini kamu kemana aja? Kamu lupa denganku? Kamu malah asik bermain layangan dengan Buyung. Kamu bosan bermain mencari harta karun?” aku memberondongnya dengan beberapa pertanyaan.
“Aku mencarimu, tapi ibumu selalu bilang jika tidak sedang tidur, ya sedang tidak enak badan.”
“Aku ingat, kamu dulu pernah berjanji takkan meninggalkanku. Kamu janji kita akan selalu bersama. Kamu tahu, aku nyaman di sampingmu. Aku tak ingin kehilanganmu. Aku benci melihatmu bersama Buyung. Aku ingin kamu hanya untuk aku. ” teriakku parau, menahan agar air mataku yang pemalu tak berlinangan.
Aku mendaratkan ciuman tepat di pipinya, sembari melingkarkan kedua tanganku di balik punggungnya.
“Damar! Apa yang kamu lakukan?” Reno mendorongku hingga jatuh.
“Kamu masih waras?”
Kurasakan sakit yang begitu dalam sore itu. Kuputuskan mulai saat itu, aku benar-benar membenci Reno. Aku tak ingin melihatnya lagi. Aku membencinya.
Masih dari sebuah rumah pusat rehabilitasi, kutuliskan cerita ini untukmu. Aku menuliskannya untukmu, agar kau tahu kisah yang sebenarnya. Kisah yang sebenarnya ingin kusimpan sendiri, hanya saja aku tak ingin kau tahu kisahku ini dari koran-koran yang ditulis para kuli tinta. Mereka yang membesar-besarkan masalahnya, dengan sengaja mengurangi detail-detail tiap ceritanya, atau seakan-akan mereka tahu semua kejadiannya. Seperti sebelas tahun lalu; di beberapa koran - ceritaku dimuat di halaman depan, diberi judul yang menggemparkan, dicetak dengan huruf-huruf tebal. Tentu kau pun sudah membacanya bukan; “Seorang Bocah Tega Membakar Sahabatnya Sendiri” atau “Karena Cemburu Seorang Bocah Bakar Sahabatnya”.



 #OWOPwc
@oneweekonepaper
Posted on by Unknown | 2 comments