Saturday, January 11, 2014

SEPTI ( Sepi Tanpa Tepi)


Semalam hujan turun lagi. Cukup deras. Cukup untuk membasahi tanah-tanah kering yang gersang. Cukup membasahi ranting-ranting dan dedaunan yang kering kehausan. Membungkus suasana tadi malam dengan dingin yang cukup untuk membuat tubuhku menggeliat menggigil.

Pagi ini pemandangan di halaman belakang rumah, disuguh pemadangan genangan air sisa hujan semalam. Daun-daun masih basah.  Kaca-kaca berembun. Setiap sabtu pagi, seperti pagi ini, inilah kegiatanku sehabis bangun tidur. Berlama-lama duduk di teras belakang, menikmati secangkir kopi ditemani koran edisi hari ini. Lantunan instrumen dari Kenny G turut mewarnai. Sendiri.

Kuhela napas panjang. Berdiam sejenak. Menutup lembar demi lembar koran yang sedang kugenggam. Busur senyum berhasil terlukis di bibirku. Meski kecil. Tersenyum sendiri.

“Septi... ya Septi..” Suaraku pelan. Entah terdengar entak tidak.  Tak perlu keras-keras, aku sendiri.

Aku menggeleng. Bukan karena aku tak percaya, hanya sedikit terkejut bercampur bahagia.  Aku berhasil mengetahui namanya. Sudah lama sekali aku ingin berkenalan dengannya. Wanita berambut hitam legam, panjang. Matanya bersinar, memancarkan makna yang entah aku tak pernah tahu maksud dari tatapannya. Berkali-kali kami saling bertemu dan berjabat tangan. Saling bersitatap bahkan pernah satu dua kali bergandeng tangan. Tak cukup lama. Baru sebulan yang lalu. Saat aku sendiri.

Berkali-kali juga aku meneguhkan hati. Memberanikan diri, menanyakan namanya. Akhirnya semalam, di bawah rinai hujan yang jarang. Tak begitu deras. Hanya gerimis. Disaksikan sebuah payung hitam yang memayungi setiap langkah kaki kami. Secuil namanya sudah membuatku bahagia. Belum lagi senyum tipis, atau entahlah mungkin sangat tipis hingga tak begitu jelas. Hadiah yang membuatku sedikit melayang.

Ah! Sayang semuanya tak seperti yang kubayangkan. Semuanya tak seperti yang aku harapkan. Waktu harus juga berpulang. Ada pertemuan ada juga perpisahan. Setidaknya nanti malam aku bisa menemuinya lagi. Harapan yang sulit terkabulkan. Butuh imajinasi dan keajaiban yang cukup tinggi. Kurasa.

Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi.  Sambil sesekali menikmati secangkir kopi yang kuseduh sendiri. Ya, benar mungkin nama Septi yang cocok untuk wanita yang kutemui. Dialah yang kunamai septi – sepi tanpa tepi. Aku sendiri, dan masih sendiri. Bahkan meski setiap malam kadang dia yang menemani, tapi dia pergi dan tak kembali bersama hadirnya sang mentari. Lagi-lagi ruang, jarak, dan waktu adalah pemisah nomor satu.

Asal kau tahu, aku dan wanita itu takkan mungkin pernah bersatu. Dia berlari dalam mimpi, aku berusaha mengejar mimpi. Dia hadir justru saat aku dilahap dalam sebuah mimpi. Ah! Peduli apa? Aku sendiri yang mecintainya. Aku mencintai septi. Tiap hari, tiap pagi dialah yang paling setia menemani. Septi - sepi tanpa tepi.

Kediri, 2014



© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Sepucuk Surat Untuk Putri


Putri. Salam hangatku untukmu. Sepagi ini aku ingin menyapamu. Di bawah payungan mendung yang berhasil mengusir cahya hangat sang mentari pagi.

Putri. Kali ini, atau bahkan untuk kesekian kalinya aku tak pernah lelah menyapamu. Setiap hari. Menyebut namamu. Hanya mungkin ini berbeda. Aku ingin mengukir namamu di sebuah tulisanku, hasil buah pikir dari benih cinta yang berhasil tumbuh dan kita rawat bersama.  Semoga tulisanku mampu kembangkan senyum di wajahmu. Senyum yang selalu merekah kala kau tersipu malu, atau dirundung bahagia yang menemanimu.

Putri. Lima tahun sudah kita selalu bersama. Bak mendayung  sampan kecil untuk berlayar, mencari sebuah labuhan sebagai tempat persinggahan. Ombak kecil, ombak besar, angin kecil dan angin badai kita lalui bersama. Meski tak jarang pula sampan kita terombang-ambing tak tentu bahkan terbalik untuk beberapa waktu. Hanya doa dan kepercayaan yang jadi pemersatu.

Putri. Percayalah suatu saat nanti, kita akan berlayar bukan dengan sampan ini. Sampan tua kecil yang sudah tak layak lagi tuk ditunggangi. Kita kan bekerja sama membangun sebuah bahtera. Bahtera sederhana namun kokoh dan nyaman bagi kita. Bahtera yang selama ini kita harapkan. Bahtera yang selalu kita impikan. Butuh usaha memang, namun aku percaya kita bisa.

Putri. Kau tahu, semalam aku bermimpi. Kau pergi dan takkan pernah kembali. Tak dapat kusangkali, air mata mengucur deras di pipi. Meski hanya mimpi, rasanya sakit sekali. Aku harap itu hanya benar-benar mimpi, dan bahtera yang akan kita rakit bukan hanya sebatas angan dalam mimpi.

Kau takkan pergi bukan?

Putri. Satu hal yang kau tahu pasti, Hanya kau yang tahu. Rasaku ini benar-benar sungguh menyayangi. Rasaku ini harap sungguh bisa memiliki. Rasaku sungguh telah lama mati, mati jauh terkubur dalam emosi. Namamu, senyummu sudah hafal setengah mati, maka siapa bisa mengganti?

Putri. Mungkin kau sedikit tak mengerti atau bahkan mungkin tak peduli dengan tulisan ini. Aku hanya ingin kau sedikit pahami, sedikit selami. Sedikit saja. Agar aku mengerti, aku masih yang dulu. Yang selalu ada berdiri di sampingmu meski kadang kala aku bersifat dungu. Aku masih mencintaimu, selalu.

Putri. Sepucuk surat yang sedang kau baca ini kutulis dengan hati, bukan lagi sebatas jemari. Dalam tiap-tiap kata kuselipkan doa diantaranya. Doa untukmu. Juga doa untuk kita pastinya.Sekuat apa pun badai yang menggelora dan badai menerjang, yakinlah rasa yang kita miliki pun tak kalah kuat. Aku pun percaya pertolongan sang Khalik takkan pernah sedetik pun terlambat.

Terimakasih Putri. Aku mencintaimu. Biarlah namamu menjadi begitu berarti sampai ajal kan menjemput bahtera kita nanti.

Kediri, 2014


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Saturday, January 04, 2014

Cintaku Untuknya Lebih Besar Daripada Cintamu

“Sayang, minggu depan orangtuaku datang.”
“Oh, ya? Bagus dong. Pasti seneng kan udah hampir setahun nggak ketemu.” Ucapku sambil membersihkan sisa makanan yang menempel di bibirku.

*
Malam ini aku mengantarkan Reny bersama kedua adiknya menuju Bandara Juanda di Surabaya. Malam ini kedua orangtuanya datang dari Jepang. Ya, ayahnya merupakan seorang TKI di sebuah pabrik ternama. Setahun sekali mereka pulang ke Indonesia untuk menjenguk anak-anaknya.

*
Bip! Bip! Handphoneku berdering. Sebuah pesan singkat dari Reny.

Aku meluncur menuju rumah Reny. Tak kudapati Reny di sana, Reny sedang berbelanja bersama ibu dan kedua adiknya. Inilah waktuku untuk melepas kerinduanku bersama ayahnya. Seseorang yang selama ini membuatku tak lelap dalam tidur dan seseorang yang selama ini aku rindukan.

Kediri, 2014


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Sebuah Tulisan di Malam Penghujung Tahun


Tak terasa tahun ini sudah berada di penghujung waktu. Beberapa menit lagi atau bahkan beberapa detik lagi tahun yang lama akan tergantikan dengan tahun yang baru. Meski di luar sana langit tak mau bersahabat dengan acara-acara yang sudah tertata rapi. Hujan enggan peduli dengan hiruk pikuknya celoteh anak-anak kecil yang ingin menghiasi langit malam dengan nyala kembang-kembang api yang warnanya bervariasi. Hujan tak mau mengerti pasangan muda-mudi yang ingin menyongsong harapan baru, harap akan cinta yang takkan tergantikan meski waktu selalu datang bergantian.

Malam tahun baru kali ini aku sendiri. Setelah dalam kurun waktu lebih dari lima tahun, kita selalu merayakannya bersama. Beberapa tahun yang lalu yang sering kusebut dengan nama kita. Namun malam ini berbeda, aku harus menamainya sendiri-sendiri “aku dan kamu”. Inilah yang kusebut juga dengan entah. Seperti malam ini, seperti saat-saat namamu kembali menyeruak hadir dalam ingatanku, kemudian mendesak air dari pelupuk mata untuk jatuh menghujani pipi dan kulit bibir yang telah lama mengering.

Aku memutar ingatanku. Teringat salah satu malam tahun baru yang mengesankan hatiku. Entah mengapa ada senyum, tawa kecil, hingga tangis lirih saat aku harus membuka kembali ingatan itu. Malam tahun baru sederhana namun penuh makna. Hujan yang mengguyur halaman belakang rumahmu kala itu, membuat semuanya basah. Nyala bara api yang tadinya begitu menghangatkan, hanya mengepulkan asap yang membuat kita terbatuk-batuk. Sosis-sosis dan jagung bakar yang tadinya menggiurkan itu turut menjadi korban keganasan sang hujan, hingga akhirnya sebuah piring menyajikan jagung dan sosis bakar berkuah di atasnya. Kemudian kita tertawa bersama. Saling menertawakan hujan yang berhasil  merusak suasana ceria yang ingin kita ciptakan bersama. Hujan yang membuat kita lari mencari sebuah tempat untuk berteduh sembari saling berengkuhan menghangatkan. Di sebuah pendopo yang tak jauh dari tempat bakaran kita saling merebahkan tubuh yang sudah kuyup, merebahkan gigil di antara kita.

Sang waktu terus bergulir, tak ada yang tahu pukul berapa sudah saat itu. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan jam setengah dua belas tepat, namun detik dan menitnya sudah tak lagi bergerak. Nampaknya air hujan juga telah berhasil merenggut nyawa jam di pergelangan tanganku. Handphone kita tertinggal di dalam rumah. Lagi-lagi tawamu pecah, lebih pecah suaranya dari sebuah piring yang sengaja di lempar oleh pemiliknya. Ya, aku pun turut menyusul tawamu yang pecah itu. Belum puas kita menertawakan waktu, kita juga menertawan kembang api yang kita beli. Lima buah kembang api yang kita beli saat senja hampir di telan gelap gulita, basah dan sumbunya tak mau menyala. Mengesalkan memang namun pantas untuk ditertawakan.

Langit yang indah. Inilah perang kataku, perang yang begitu indah. Langit dihujani ribuan kembang api, sedang bumi dihujani air yang juga tak kunjung henti. Senyum merekah di bibir mungilmu. Matamu pantulkan kilauan sinar warna-warni dari langit yang berhiaskan kembang api itu. Dibanding langit yang dihiasi gemerlap kembang api-kembang api itu, aku lebih mengagumi keindahan yang terselip di raut wajahmu yang penuh dengan binar-binar kebahagiaan. Parasmu cantik, lebih cantik daripada pemandangan yang langit berhasil guratkan.

             Hujan membuat tubuhmnu kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat lekuk tubuhmu terlukis jelas di mataku. Hingga akhirnya gigil memaksa kita untuk saling bertautan. Memanggil bibir kita untuk saling berpagutan. Lagi-lagi hujan berhasil membuat kita dimabuk cinta malam itu, dan menanggalkan semua yang berharga dalam diri kita, sebelum kemudian sang Fajar membangunkan sepasang mata kita yang memejam.

Ya, aku ingat waktu-katu itu. Aku ingat kenangan-kenangan itu. Aku selalu mengingatmu, sekalipun terkadang aku berusaha melupakanmu. Aku tak senang melupakanmu, karena itu terlalu menyiksaku.

Sayang, bagaimana malam tahun barumu di sana?
Apakah lebih indah gemerlap warna-warni dilihat dari atas langit sana? 
Apa para malaikat di sana juga bersiap menyongsong tahun baru  dengan sangkakalanya masing-masing?
Sayang, aku merindukanmu. Selamat tahun baru.

Kediri, 2013-2014
( Ditulis pada malam pergantian tahun 2013-2014)


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Review Buku Penjaja Cerita Cinta


Judul                : Penjaja Cerita Cinta
Penulis             : @edi_akhiles
Penerbit           : DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan 1        : Desember 2013
Tebal               : 192 halaman

          Buku ini merupakan kumpulan cerpen dari seorang Penulis yang lahir di Lalangon, Manding, Sumenep, Jawa Timur, 13 November 1977. Beliau kerap disapa dengan nama Edi AH Iyubenu dan terkenal di sebuah jejaring sosial tweeter dengan akun @edi_akhiles. Namun inilah nama aslinya Edi Mulyono.

          Beliau memulai kegemarannya menulis cerpen fiksi sejak tahun 1995. Untuk pertama kalinya cerpen yang berjudul Den Bagus, berhasil termuat di Harian Kedaulatan Rakyat Jogja, setelah 700 cerpen dihasilkannya. Sungguh beliau memiliki ketekunan yang amat besar dan tidak mudah menyerah. Sejak saat itu pula cerpennya banyak dimuat di media massa, dari Horison, Kompas sampai jurnal Ulmul Qur’an dan koran-koran lokal.

          Beliau juga merupakan Angkatan Sastra 2000. Pada tahun 2013, beliau mendapat anugerah sebagai salah satu Pegiat Sastra di Yogyakarta oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Tak hanya itu Beliau juga mempunyai sebuah publishing dengan nama DIVApress, kemudian beliau juga merupakan salah satu pembimbing di #KampusFiksi. Tugasnya membimbing anak-anak muda yang memiliki keinginan sungguh-sungguh mau belajar menulis dan menerbitkan novelnya.

          Karya-karya yang lain yang pernah dibukukan antara lain : Andai Aku Jalan Kaki Masihkah Engkau Selalu Ada Untukku?, Ah, Tuhan Sayang Padaku, Kok, Trio (lebih) Macan!, Brengseknya Aku, Thx for Auratmu, Orang Pelit Pantatnya Item, Hari-hari Paling Menyebalkan Dalam Hidupku, Rogoh Ah..., dan CEO Koplak.

          Buku Penjaja Cerita Cinta merupakan buku yang berhasil diterbitkan berikutnya. Seperti di awal tadi saya sampaikan, bahwa buku ini merupakan kumpulan cerita-cerita pendek yang dikemas dalam cover yang cukup menarik, dan yang menjadi cerpen unggulan yaitu sama dengan yang tertera di cover yaitu Penjaja Cerita Cinta. Ada total 16 cerpen yang terdapat dalam buku ini. Berikut judul-judul yang ditawarkan : Penjaja Cerita Cinta, Love is Ketek, Cinta yang Tak Berkata-kata, Dijual Murah Surga dan Isinya, Menggambar Tubuh Mama, Secangkir Kopi untuk Tuhan, Tak Tunggu Balimu, Cinta Cantik, Tamparan Tuhan, Abah, I Love You..., Cerita Sebuah Kemaluan, Munyuk!, Lengking Hati Seoarang Ibu Yang Ditinggal Mati, Anaknya, Aku Bukan Batu!!, dan terakhir Si X Si X And God.

          Tidak hanya itu saja Beliau juga memberikan bonus tambahan kepada pembaca tentang teknik menulis. Pada bagian bonus tersebut di beri judul : Hindari “ Dosa-Dosa Preett” Ini Dalam Menulis. Dalam bonusnya ini Beliau memberikan informasi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seoarang penulis. Dengan gaya bahasanya yang lucu dan khas Beliau menjadikan bacaan ini menjadi renyah untuk dibaca.

          Buku ini wajib dibaca sampai selesai. Jangan hanya dibaca awalnya saja atau bahkan judulnya saja yang sudah pasti bisa menyebabkan kita mengambil kesimpulan sendiri tanpa pernah mengerti apa yang sebenarnya ingin disiratkan oleh apa yang telah disuratkan oleh Si Penulis.

          Saya akan mengulas beberapa cerpen yang ada dalam buku ini. Kenapa tidak semua? Ya karena saya ingin membuat anda penasaran dan membacanya sendiri. Saya akan mengulas beberapa cerpen yang paling menarik menurut saya.

"Penjaja Cerita Cinta"

Dari judul saja kita sudah sedikit menerka-nerka apa yang ingin Penulis sampaikan dalam cerita pendek ini. Seorang Penjaja cerita cinta. Seorang yang mempunyai yang mempunyai pekerjaan untuk menawarkan jasa berupa menjajakan sebuah cerita. Lebih gamblangnya apabila di kehidupan masa kini biasa kita jumpai dengan sebutan Pendongeng. Ya, mereka akan berkeliling mencari anak-anak biasanya, atau siapa saja yang ingin menggunakan jasanya, yang ingin mendengarkan cerita-cerita yang dibawakannya. Tapi tentu kita tahu, pekerjaan seperti ini sudah sangat jarang sekali kita jumpai, bahkan mungkin sudah tak ada. Ingin tahu liku-liku perjalanan dari seorang Penjaja cerita cinta? Saya akan mengulasnya sedikit di sini. Ada satu hal lagi yang menurut saya menarik. Si Penulis ingin menceritakan dua cerita sekaligus. Two in one. Dua cerita dalam satu cerpen sekaligus. Bagaimana bisa? Tentu kita sering mendengar ada cerita dalam sebuah cerita, ya, hal ini mungkin yang ingin ditawarkan oleh si Penulis tersebut.

          Dalam kisah ini ada dua orang tokoh utama, yaitu : Seorang Penjaja cerita cinta (Aku) dan si pendengar yang namanya adalah Nyonya Srintil. Setting tempat yang ingin digambarkan oleh Si Penulis yaitu rumah Nyonya Srintil yang dideskripsikan dengan baik oleh si penulis. Rumah yang besar dan lebih cocok dengan sebuatan kastil, dengan model kuno, dengan pahatan-pahatan Skolastik ungkap si Penulis di bagian awal (10). Dari sini Penulis ingin menggambarkan adanya kesan mistis di sana. Berikut sekilas cuplikan dari cerpen ini.

          “Bagaimana? Apa cerita cinta yang jadi andalanmu Penjaja Cerita?”
          “Romeo dan Juliet?” Mataku menatapnya penuh harap.
          Ia menggeleng ketus.
          “Laila dan Majnun?”
          Kembali ia menggelang. Tampak lebih ketus.
          “Rara Mendut dan Pranacitra?”
          “Hanya itu koleksi cerita cintamu?” (14)
         

          “Baiklah, Nyonya Sri. Saya menyimpan sebuah cerita cinta yang paling rahasia, yang takkan pernah membuat pendengarnya mampu mengerti kenapa ada cerita sedahsyat itu...” (15)

Itulah beberapa bagian percakapan yang ada dalam bagian awal cerita Penjaja Cerita Cinta. Nah di sini saya akan mengulas seperti apa yang di awal telah saya sampaikan, bahwa penulis juga menulis cerita yang kedua. Di bagian ini adalah cerita yang disampaikan oleh penjaja cerita kepada Nyonya Srintil. Diceritakan pada bagian ini si penjaja cerita cinta membagi ceritanya sendiri ke dalam empat hal penting. Empat hal pokok dari cerita yang ingin disampaikan, yaitu : Kesetiaan, Rindu, Perpisahan, dan Kenangan.

Kesetiaan.
Di sini penjaja cerita menceritakan sebuah kisah yang berkaitan dengan topik kesetiaan yang menjadi garis besarnya. Dalam cerita ini muncul tokoh baru, namanya Senja. Seorang gadis yang menjadi tokoh utama dalam cerita yang sedang ditawarkan oleh penjaja cerita. Seorang gadis muda yang tak pernah jemu menanti sebuah bukti yang dulu pernah dijanjikan oleh laki-laki yang dicintainya. Senja selalu setia menanti kedatangan laki-laki itu, meski ia sendiri tak pernah tahu kapan laki-laki itu akan datang kembali. Kesetiannya tak pernah lelah, ia percaya saat mentari terbenam (senja) lelaki yang ditunggunya akan datang untuk menjemputnya.

          “Aku selalu percaya janjimu untuk menjemputku saat senja di tepian teluk seperti dulu kamu pergi saat senja di tepian teluk...” (17)

Rindu.
          Masih dengan cerita yang sama. Tentang gadis bernama Senja. Kini sebuah rindu yang diangkat menjadi topik utama dalam bagian ini. Diceritakan bagaiman rindu terus menerus menggerogoti Senja. Tak pernah berhenti, rindu yang tak pernah mati. Rindu yang tak kunjung dihadiahkan sebuah temu. Rindu-rindu yang selalu jadi candu dan selalu jadi bulir-bulir air yang mengalir bak anak sungai dari mata. Ia begitu merindukan laki-laki yang selama ini selalu diharap kedatanganya.

          “Badai rindu tidaklah lagi cukup untuk mewakili isi pikirannya. Seutas nama yang hanya ia yang tahu. Setangkup wajah lelaki yang hanya ia yang sanggup menyimpannya dengan rapat. Segaris senyum yang hanya ia yang setia memeliharanya. Segenggam janji yang haya ia yang mampu menggenggamnya dalam diam.” (22-23)

Perpisahan.
          Pada bagian ini kita disuguhkan sebuah perpisahan yang begitu memilukan. Kita akan dibawa larut oleh kalimat-kalimat dari penulis yang begitu sadis menggambarkan sebuah perpisahan.

          “Perpisahan telah menempa Senja mampu membalikkan apa yang surat di mata menjadi sirat di jiwa. Semua menyangka bahwa Senja tak lagi menyimpan hasrat kehidupan, padahal sejatinya ia sangat birahi memperjuangkan kehidupannya. Semua orang berbisik bahwa Senja adalah korban cinta lelaki yang bermata senja itu, padahal hakikatnya ia tak pernah menempatkan dirinya sebagai korban cinta.” (33)

Kenangan.
          Topik ini adalah topik terakhir yang ditawarkan dalam kisah penjaja cerita cinta. Di topik ini kita akan mendapati kenangan-kenangan yang hidup dalam jiwa seorang Senja.

          “Kenangan yang hidup di jiwa Senja sungguh bukanlah kenangan yang dimiliki anak manusia, siapa pun. Idak pula Cleopatra yang begitu cinta pada Julius Caesar atau pun Eva Braun yang bersedia memilih mati bersama Hitler di kamp terakhirnya.” (36)

          Bagaimana? Sedikit ulasan tadi setidaknya sudah mampu menggambarkan sedikit apa yang ingin ditawarkan dalam kisah Penjaja Cerita Cinta ini. Hanya sebagian kecil saja yang dapat saya munculkan dalam review ini. Dalam bukunya, kalian akan disuguhkan lebih banyak lagi kata-kata metafora yang sungguh sedap dibaca. Belum lagi kisah akhir (ending) yang ditawarkan, yang akan menjawab semua pertanyaan yang muncul saat pertama kali kita membaca awal kisahnya atau bahkan hanya judul saja. Cerpen ini adalah salah satu cerpen yang saya suka dalam buku ini, kenapa? Karena untuk membacanya saja saya butuh konsentrasi yang tinggi, dan perlu untuk membaca beberapa kali agar menemukan sebenarnya apa yang ingin diceritakan oleh Si penulis. Termasuk cerpen kategori berat.

           Kita akan ulas lagi satu cerpen dalam buku ini, judulnya Cerita Sebuah Kemaluan. Kemaluan? Apa yang ada dalam pikiran saat pertama kali kita hanya membaca judulnya saja? Kemaluan bisa diartikan dalam beberapa makna tergantung ita melihatnya dari sisi mana, betul bukan? Ada kemaluan yang bermakna rasa malu yang dimiliki seseorang karena mungkin telah melakukan sesuatu yang dirasa perlu disembunyikan agar tidak ditertawakan oleh orang lain. Ada lagi kemaluan yang berarti alat reproduksi yang dimiliki oleh manusia. Saya akan mengutip sebagian kalimat yang ada dalam cerpen ini.

          “Kenapa tidak setidaknya dua? Bukankah dengan dua, selain aku bisa berhermaprodhit, aku pun memiliki cadangan kemaluan seandainya satu kemaluanku mengalami masalah, atau setidaknya sedang layu lelah?” (133)

          Eits, jangan menyimpulkan apa pun terlebih dahulu, jangan pernah menge-judge lebih dulu jika kalian belum tahu bagaimana endingnya. Dalam kumpulan cerpen ini pembaca disarankan untuk membaca semua cerpen dari awal hingga akhir agar tidak menimbulkan pikiran-pikiran yang buruk terhadap si Penulis.

          Dan bagi para pembaca yang menyukai cerita komedi yang mengusung gaya bahasa anak muda atau remaja, dalam buku ini juga ada. Love is Ketek demikian Si penulis membubuhkan judulnya untuk cerita komedi ini. Ya, lagi-lagi Si penulis membuat penasaran apa yang sebenarnya ingin disampaikan, jangan mengambil kesimpulan apa pun sebelum membacanya hingga tuntas.

          “Parmini, Parmini, masak gara-gara gue ngasih tahu dengan niat baik nan penuh cinta, kalo diketeknya ada selembar bulu, kriting lagi, putih lagi, dia ngamuk!” (47)

          Dari sedikit saja penggalan dalam cerita ini, kita bisa tahu ada suatu komedi yang ditawarkan oleh penulis. Cerita ini bisa membuat perut kita tergelitik dengan kata-kata yang mungkin terkesan sedikit alay. Namun dalam cerpen ini merupakan satu pembuktian juga bahwa Si penulis merupakan penulis yang berbakat karena bisa menjadi “aktor”, bisa menjadi “penyihir kata.” Bagaimana tidak, beliau bisa menulis kata-kata yang begitu puitis dan romantis hingga mampu menggetarkan hati pembaca di beberapa cerpennya, namun ia juga mampu menulis kata-kata dengan bahasa ringan dan renyah layaknya obrolan-obrolan anak muda zaman sekarang.

          Dari awal hingga akhir saya membaca buku ini cukup banyak kelebihan yang ditawarkan dari kumpulan cerpen-cerpennya. Apalagi di halaman akhir sebelum biografi tentang penulis, terdapat bonus Hindari “Dosa-Dosa Preett” Ini Dalam Menulis. Ini bukan judul sebuah cerpen, namun ini adalah trik menulis yang diberikan sebagai bonus oleh Si penulis. Menarik bukan? Sudah disuguhkan beberapa cerpen masih juga di hadiahkan teknik bagaimana menghindari kesalahan-kesalahan dalam menulis. Cocok untuk pemula-pemula yang ingin bagaimana teknik menulis yang baik dan benar.


          Sedangkan beberapa kekurangan dari kumpulan cerpen ini, menurut saya ada beberapa cerpen yang endingnya terkesan “nanggung”, harusnya bisa diperpanjang sedikit agar menemukan satu titik ending yang benar-benar klimaks. Beberapa kata dalam bahasa jawa nampaknya perlu diberikan catatan-catatan kecil, sehingga pembaca yang bukan berasal dari Jawa juga bisa mengerti apa arti kata-kata tersebut. Catatan juga untuk buku ini, sepantasnya dibaca oleh remaja yang usianya sudah di atas 17 tahun, karena di dalamnya juga ada beberapa penulisan yang cukup “dewasa”. Belum lagi ketika seorang pembaca yang belum cukup umur menerjemahkan beberapa kumpulan cerpen ini tanpa mengerti maksud sebenarnya yang ingin disampaikan, karena kurangnya pemahaman makna.


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved
Posted on by Unknown | No comments