Semalam hujan turun lagi. Cukup deras. Cukup untuk
membasahi tanah-tanah kering yang gersang. Cukup membasahi ranting-ranting dan
dedaunan yang kering kehausan. Membungkus suasana tadi malam dengan dingin yang
cukup untuk membuat tubuhku menggeliat menggigil.
Pagi ini pemandangan di halaman belakang rumah, disuguh
pemadangan genangan air sisa hujan semalam. Daun-daun masih basah.
Kaca-kaca berembun. Setiap sabtu pagi, seperti pagi ini, inilah kegiatanku
sehabis bangun tidur. Berlama-lama duduk di teras belakang, menikmati secangkir
kopi ditemani koran edisi hari ini. Lantunan instrumen dari Kenny G turut
mewarnai. Sendiri.
Kuhela napas panjang. Berdiam sejenak. Menutup lembar demi
lembar koran yang sedang kugenggam. Busur senyum berhasil terlukis di bibirku. Meski
kecil. Tersenyum sendiri.
“Septi... ya Septi..” Suaraku pelan. Entah terdengar entak
tidak. Tak perlu keras-keras, aku sendiri.
Aku menggeleng. Bukan karena aku tak percaya, hanya sedikit
terkejut bercampur bahagia. Aku berhasil mengetahui namanya. Sudah lama
sekali aku ingin berkenalan dengannya. Wanita berambut hitam legam, panjang.
Matanya bersinar, memancarkan makna yang entah aku tak pernah tahu maksud dari
tatapannya. Berkali-kali kami saling bertemu dan berjabat tangan. Saling
bersitatap bahkan pernah satu dua kali bergandeng tangan. Tak cukup lama. Baru
sebulan yang lalu. Saat aku sendiri.
Berkali-kali juga aku meneguhkan hati. Memberanikan diri,
menanyakan namanya. Akhirnya semalam, di bawah rinai hujan yang jarang. Tak
begitu deras. Hanya gerimis. Disaksikan sebuah payung hitam yang memayungi
setiap langkah kaki kami. Secuil namanya sudah membuatku bahagia. Belum lagi
senyum tipis, atau entahlah mungkin sangat tipis hingga tak begitu jelas.
Hadiah yang membuatku sedikit melayang.
Ah! Sayang semuanya tak seperti yang kubayangkan. Semuanya
tak seperti yang aku harapkan. Waktu harus juga berpulang. Ada pertemuan ada
juga perpisahan. Setidaknya nanti malam aku bisa menemuinya lagi. Harapan yang
sulit terkabulkan. Butuh imajinasi dan keajaiban yang cukup tinggi. Kurasa.
Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi. Sambil
sesekali menikmati secangkir kopi yang kuseduh sendiri. Ya, benar mungkin nama
Septi yang cocok untuk wanita yang kutemui. Dialah yang kunamai septi – sepi
tanpa tepi. Aku sendiri, dan masih sendiri. Bahkan meski setiap malam kadang
dia yang menemani, tapi dia pergi dan tak kembali bersama hadirnya sang
mentari. Lagi-lagi ruang, jarak, dan waktu adalah pemisah nomor satu.
Asal kau tahu, aku dan wanita itu takkan mungkin pernah
bersatu. Dia berlari dalam mimpi, aku berusaha mengejar mimpi. Dia hadir justru
saat aku dilahap dalam sebuah mimpi. Ah! Peduli apa? Aku sendiri yang
mecintainya. Aku mencintai septi. Tiap hari, tiap pagi dialah yang paling setia
menemani. Septi - sepi tanpa tepi.
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved
0 comments:
Post a Comment