Saturday, January 11, 2014

SEPTI ( Sepi Tanpa Tepi)


Semalam hujan turun lagi. Cukup deras. Cukup untuk membasahi tanah-tanah kering yang gersang. Cukup membasahi ranting-ranting dan dedaunan yang kering kehausan. Membungkus suasana tadi malam dengan dingin yang cukup untuk membuat tubuhku menggeliat menggigil.

Pagi ini pemandangan di halaman belakang rumah, disuguh pemadangan genangan air sisa hujan semalam. Daun-daun masih basah.  Kaca-kaca berembun. Setiap sabtu pagi, seperti pagi ini, inilah kegiatanku sehabis bangun tidur. Berlama-lama duduk di teras belakang, menikmati secangkir kopi ditemani koran edisi hari ini. Lantunan instrumen dari Kenny G turut mewarnai. Sendiri.

Kuhela napas panjang. Berdiam sejenak. Menutup lembar demi lembar koran yang sedang kugenggam. Busur senyum berhasil terlukis di bibirku. Meski kecil. Tersenyum sendiri.

“Septi... ya Septi..” Suaraku pelan. Entah terdengar entak tidak.  Tak perlu keras-keras, aku sendiri.

Aku menggeleng. Bukan karena aku tak percaya, hanya sedikit terkejut bercampur bahagia.  Aku berhasil mengetahui namanya. Sudah lama sekali aku ingin berkenalan dengannya. Wanita berambut hitam legam, panjang. Matanya bersinar, memancarkan makna yang entah aku tak pernah tahu maksud dari tatapannya. Berkali-kali kami saling bertemu dan berjabat tangan. Saling bersitatap bahkan pernah satu dua kali bergandeng tangan. Tak cukup lama. Baru sebulan yang lalu. Saat aku sendiri.

Berkali-kali juga aku meneguhkan hati. Memberanikan diri, menanyakan namanya. Akhirnya semalam, di bawah rinai hujan yang jarang. Tak begitu deras. Hanya gerimis. Disaksikan sebuah payung hitam yang memayungi setiap langkah kaki kami. Secuil namanya sudah membuatku bahagia. Belum lagi senyum tipis, atau entahlah mungkin sangat tipis hingga tak begitu jelas. Hadiah yang membuatku sedikit melayang.

Ah! Sayang semuanya tak seperti yang kubayangkan. Semuanya tak seperti yang aku harapkan. Waktu harus juga berpulang. Ada pertemuan ada juga perpisahan. Setidaknya nanti malam aku bisa menemuinya lagi. Harapan yang sulit terkabulkan. Butuh imajinasi dan keajaiban yang cukup tinggi. Kurasa.

Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi.  Sambil sesekali menikmati secangkir kopi yang kuseduh sendiri. Ya, benar mungkin nama Septi yang cocok untuk wanita yang kutemui. Dialah yang kunamai septi – sepi tanpa tepi. Aku sendiri, dan masih sendiri. Bahkan meski setiap malam kadang dia yang menemani, tapi dia pergi dan tak kembali bersama hadirnya sang mentari. Lagi-lagi ruang, jarak, dan waktu adalah pemisah nomor satu.

Asal kau tahu, aku dan wanita itu takkan mungkin pernah bersatu. Dia berlari dalam mimpi, aku berusaha mengejar mimpi. Dia hadir justru saat aku dilahap dalam sebuah mimpi. Ah! Peduli apa? Aku sendiri yang mecintainya. Aku mencintai septi. Tiap hari, tiap pagi dialah yang paling setia menemani. Septi - sepi tanpa tepi.

Kediri, 2014



© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

0 comments:

Post a Comment