Wisma Tumapel, sebuah sebutan yang diberikan oleh
kebanyakan orang di sini, setidaknya nama itulah yang tertera di sebuah papan
putih besar di depannya. Entah apa arti dari namanya tak ada yang tahu. Sebuah
Wisma tua yang sudah berdiri sejak pemerintahan kolonial belanda tepatnya tahun
1928. Masih berdiri kokoh hingga saat ini, tentunya dengan gaya arsitektur
belanda kala itu. Lokasinya tepat di samping Pemerintahan kantor Walikota
Malang, Jawa Timur.
Kebanyakan orang berkata bahwa Wisma ini adalah salah satu
tempat yang cukup mistis, bagiku ini adalah Wisma dengan pemandangan berkarakteristik
yang sangat eksotis. Memang bangunan ini tak berpenghuni lagi sejak
berpuluh-puluh tahun silam, dilakukan pemugaran saja tak pernah, hanya dipagari
seng-seng hijau disekelilingnya. Namun dengan keunikan-keunikan dan cerita
mistis yang ikut mendukung tetap berdirinya Wisma inilah, yang membuat namanya
melambung dan menjadi salah satu icon di seantero Malang. Siapa yang tak
kenal dengan Wisma Tumapel?
Aku adalah seorang fotografer dari Jakarta. Sudah dua hari
ini aku dan rekan-rekanku berada di Malang. Kami menginap di Hotel yang tak
jauh lokasinya dari Wisma Tumapel, cukup dengan jalan kaki kami sudah sampai,
tak butuh waktu lebih dari sepuluh menit pula. Sudah dari tiga bulan lalu kami
siapkan rencana ini matang-matang. Mulai dari survey lokasi, pemilihan para
model, pemesanan Hotel dan menyiapkan akomodasi lainnya. Ini bukan event yang
biasa buat kami, kami sedang mengikuti sebuah kontes fotografi nasional yang
akan berakhir satu minggu lagi, dan kami harus memepersiapkan segala sesuatunya
dengan matang. Juara merupakan target yang harus kami kejar.
Waktu itu sekitar pukul sepuluh pagi hari. Kami ; seorang
model, dua orang fotografer termasuk aku, dan seorang penata rias sekaligus
merangkap perlengkapan – telah selesai menyantap menu sarapan yang telah
disajikan dan kami bersiap menuju lokasi pemotretan. Ya, Wisma Tumapel.
Seorang penjaga Wisma Tumapel keluar menyambut kedatangan
kami, dan tentu saja kami menjelaskan kedatangan dan tujuan kami datang ke
Wisma ini. Beliau ramah meski wajahnya nampak sangar, menurutku. Entah orang
ini yang sering disebut oleh kebanyakan orang sebagai “penunggu” entahlah. Satu
pesan yang beliau berikan kepada kami.
“ Kalau di dalam jangan terlalu berisik ya Mas, jangan
macam-macam atau aneh-aneh di dalam. Saya ada di luar kalau butuh apa-apa.”
Baru sampai di pelataran depan wisma ini kami disuguhkan
suatu nuansa yang menimbulkan kesan vintage tersendiri, atau mungkin ngeri
untuk sebagian orang. Wisma ini warnanya kusam. Cat di dinding mulai pudar dan
mengelupas. Lumut-lumut menempel di beberapa bagian dinding yang lembap.
Tumbuhan perdu serta semak belukar nampak tumbuh liar di sana. Kayu-kayu
jendela dan daun pintu yang nampaknya juga sudah mulai lapuk di beberapa sudut,
menambah kesan yang luar biasa di mataku. Perfect kataku mantap.
Rena, seorang model yang sudah tak diragukan lagi
kemampuannya dalam dunia fashion.
Fotografer profesional dan ternama di Indonesia pun pernah memakainya sebagai
sasaran objek kameranya. Parasnya tak cantik, namun begitu manis. Kulitnya sawo
matang, warna kulit yang elegan, warna yang cocok untuk tema yang kami ambil
untuk pemotretan kali ini “Back to Vintage”. Lekuk tubuhnya sungguh sempurna,
mata lelaki mana yang tak leleh, terpesona dibuatnya.
Belum jauh kaki kami melangkah dari pintu masuk menuju
ruang utama. Rena, mendadak wajahnya berubah warna. Wajahnya pucat pasi.
Matanya berkaca-kaca. Bibirnya membisu, tubuhnya seakan kaku. Sontak kami semua
gelisah dibuatnya Sedang suara angin mulai menderit-derit menelusup dari
celah-celah jendela. Kami berusaha menyadarkan Rena dari tatapan kosongnya.
“Ren, Ren kamu kenapa Ren?”
“Ren, halo Ren sadar Ren. Rena! Sadar Ren!!” kami berusaha
meneriakinya. Tak mau kalah, tamparan-tamparan pelan mendarat di pipi halusnya.
“Wuuuuuaaaaa!!!”
“Hahaha ketipu semuanya. Kenapa, kalian semua takut ya? Kok
kayak mau nangis gitu?” ucap Rena sambil mengeluarkan tawa puasnya.
“Gila kamu Ren. Gak lucu tau.” ucap Sandy kesal.
“Ini bukan waktunya buat bercanda Ren. Inget kita punya
target yang harus di kejar, gak ada waktu buat bercanda. Ngerti kamu?” umpatku
kesal sembari menyiapkan lensa-lensa yang harus kugunakan.
“Iya maaf.” Katanya sambil menahan tawa.
“Udah, puas kan kamu ngerjain kita? Sana pake tuh make up
kamu!.”
“Wen, tolong kamu siapin tuh kostum sama aksesoris yang
dibutuhin sama si Rena.”
Setelah kami rasa pengambilan gambar di pekarangan depan
dan ruang utama sudah cukup, kami lanjutkan pengambilan berikutnya di lantai
dua Wisma ini. Setelah menaiki anak tangga yang kira-kira berjumlah kurang
lebih dua puluh sampai tiga puluh anak tangga, kami di sambut sebuah
lorong yang lumayan panjang namun sempit. Di samping kanan ada beberapa ruang
kosong, mirip seperti lorong sebuah penginapan. Sedang di sebelah kiri, kami
bisa melihat pemandangan di luar melalui kaca-kaca jendela yang cukup besar ;
mulai dari pekarangan samping hingga jalan raya di seberang sana. Lorong ini
gelap, tak ada lampu, hanya sinar mentari yang berhasil menerobos masuk dalam
ruang inilah satu-satunya sumber penerangan kami.
Rena menangis. Air matanya perlahan jatuh, membasahi
pipinya. Eyeshadow hitamnya luntur. Lagi-lagi tubunya
kaku. Tatapannya tajam, seakan ingin mengatakan sesuatu.
“Ren, udah Ren. Nggak lucu tau. Jangan bercanda lagi.” ucap
Sandy ketus, acuh tak mau tahu. Ia tetap melanjutkan membidikkan kameranya ke
tiap sudut bagian wisma ini.
“Iya Ren, udah ah jangan bercanda lagi kamu. Ayo kita
lanjut lagi, biar cepet kelar, kita semua juga udah capek Ren. Kita semua
laper.” tukasku cukup kasar. Mataku berusaha menelanjangi tiap sudut ruang
wisma ini, mencari apa yang sebenarnya ditatap oleh Rena.
Braak!
“Renaa! Sandy, Widi, tolong bantuin.” Wendy sontak
menjerit karena kaget. Rena pingsan.
Doa-doa dipanjatkan oleh sang penjaga wisma. Kami hanya
bisa diam memandang tubuh Rena yang terkulai lemas. Ia baru siuman, sebotol air
mineral diteguknya.
“Kamu nggak apa- apa Ren? Kamu kenapa?” tanyaku cemas,
melihat tubuhnya yang lemas.
“Sudah, nggak apa-apa Mas. Ini Mbaknya mungkin kecapekan
aja. Sebaiknya sekarang pulang dulu aja, istirahat dulu.” Penjaga itu coba
menasehati kami. Namun tak ada satu kata pun untuk menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi.
Terpaksa pemotretan kali ini kami pending lebih dulu. Tak mungkin dilanjutkan
juga. Rena masih terlihat tak berdaya, tak sepatah kata pun keluar dari
mulutnya. Hari juga sudah mulai sore, sungguh tak terasa. Nampaknya aku yang
sedikit agak kecewa. Karena aku punya ambisi, aku terobsesi menjadi pemenang
tahun ini.
Aku berjalan di belakang mereka. Dari luar rumah, aku
berusaha melihat ke arah jendela yang terbuka tepat dimana si Rena tiba-tiba
pingsan. Mataku terperanga. Sosok gadis jelita ada di sana. Rambutnya pirang
mengombak. sebuah topi giant hat sun cokelat muda dengan hiasan pita putih
di samping, bertengger di kepalanya. Warna matanya biru, sebiru air laut
di perairan yang dalam. Senyumnya sungguh mempesona. Bergaun merah muda
berenda-renda. Direngkuhnya dengan kedua tangannya sebuah boneka, tak jelas
boneka apa. Digendongnya boneka itu layaknya seorang bayi kecil yang butuh
kasih sayang dari Ibunya. Kemudian cairan kental, terlihat hitam keluar
perlahan dari matanya. Wanita itu menangis. Jantungku mulai berdegup tak
karuan. Kubuang pandangan mataku ke punggung Sandy, Rena dan Wendy yang berada
di depanku. Siapa dia? Rasanya tak ada orang lain lagi selain kami yang
berkunjung ke sini. Atau mungkin itu istri dari sang penjaga wisma ini? Meski
hati tak ingin, tapi mata ini tetap tergoda tuk menengok kebelakang lagi. Sosok
wanita itu lenyap, hanya ruang gelap yang kosong yang ada dalam penglihatanku.
Aku tak percaya hal-hal yang mistis, dan andai itu benar aku tak akan
mempercayainya. Mungkin aku terlalu lelah, aku butuh istirahat. Aku akan tutup
mulut. Mungkin saja aku penglihatanku yang salah, aku tak ingin pemotretan ini
gagal hanya karena mitos-mitos yang belum jelas kepastiannya.
Keesokan harinya kami kembali. Kembali dengan langkah yang
pasti dengan stamina dan semangat yang sudah terisi lagi. Senyum sudah nampak
merekah di bibir Rena. Rena tak mengatakan apapun tentang kejadian yang ia
alami kemarin. Ia tak ingat apa-apa katanya. Kami pun tak berusaha mencari
tahu. Kali ini doa kami panjatkan sebelum masuk Wisma dan memulai aksi pengambilan
gambar.
Lantai dua. Lorong sempit, tempat Rena kemarin pingsan. Di
sini kami akan mengambil gambar lagi, setelah kemarin kami tak mendapat satu
gambar apapun dari Rena selain gambar-gambar ruang kosong tanpa penghuni.
Ya lagi-lagi kami hanya berempat, tak ada pengunjung lain. Padahal sering
kudengar wisma ini sering dijadikan objek atau latar pengambilan gambar. Ya
mungkin hanya kebetulan, pikirku.
Aku dan Sandy menyiapkan tripod yang akan kami gunakan.
Wendy sibuk mencari alat-alat rias dalam tas hitam yang cukup besar. Rena,
mencoba masuk dalam satu ruang kosong yang ternyata pintunya tidak dikunci.
Sebuah boneka bayi perempuan, dengan gaun merah muda yang cukup lusuh seta
rambut berwarna pirang kehitaman karena debu, kini ada di tangannya. Aku
terkejut melihatnya.
“Ren, itu boneka siapa? Kamu dapet dari mana?” suaraku
menceracau. Aku ragu, bukankah boneka itu yang kemarin aku lihat bersama
seorang wanita? Aku masih tak percaya.
“Aku dapet dari dalem situ. Tergeletak di lantai.”
“Kembaliin Ren. Udahlah jangan aneh-aneh lagi. Aku males
tau ah kalau kayak gini.” Sandy nampak geram, umpatnya dengan penuh amarah yang
meluap-luap.
Aku berusaha menenangkan mereka.
Braak! Braaak! Braaak! Suara hantaman pintu serta jendela
yang menutup secara bersamaan membuat kami terkejut. Kami terdiam. Tak ada
angin yang berhembus, mungkin ada orang di bawah. Kami mencoba tetap tenang.
Suara itu terdengar dari ruang bawah. Kami berkumpul, tubuh kami merapat,
tangan kami berpegang erat. Jari-jari kami basah oleh keringat yang mengucur
dingin. Degup jantung kami yang berdetak semakin kencang terdengar begitu
jelas. Suara ketukan terdengar perlahan. Kami semua mendengarnya. Bukan, bukan
ketukan. Itu suara yang dihasilkan dari sepatu high heel ketika menapak, ya itu suara langkah
kaki.
“Siapa di sana? Halo, ada orang di sana?” teriak Sandy
memecah keheningan.
Tiba-tiba seekor kucing hitam muncul dari anak tangga. Ia
hanya mengeong, tatapannya tajam menatap ke arah kami. Kami pikir ia ingin
mengucapkan sesuatu.
“Haaaaaaaaaaa!!” Rena menjerit ketakutan sambil melempar
boneka perempuan yang tadinya ada dalam pelukannya. Boneka itu terlempar keluar
jendela.
“Kenapa Ren?” Wendy memeluknya, Wendy berusaha
menenangkannya.
“Itu, boneka itu..”
“Iya, bonekanya kenapa?” Aku berusaha menangkap apa yang
sebenarnya ingin Rena sampaikan. Ucapan Rena terbata-bata, suaranya parau
karena menahan isak.
“Boneka itu matanya menyala. Bibirnya bergerak-gerak.
Boneka itu mengucapkan sesuatu.”
Suasana kini berubah. Angin dingin menyelimuti sekujur
tubuh kami. Bulu-bulu di leher kini mulai berdiri. Kucing hitam tadi
menghilang. Kami lari sekuat daya yang ada, meninggalkan wisma ini dengan
terbirit-birit.
Malam ini juga kami putuskan kembali ke Jakarta. Kami
menyewa sopir. Kami pikir - kami tidak akan sanggup untuk membawa mobil ini
sendiri setelah kejadian tadi. Pikiran kami masih melayang, pikiran kami
meracau sungguh kacau. Ketakutan menghantui kami sepanjang perjalanan. Tubuh
kami lelah, mata kami pun sebenarnya sudah tak kuasa tuk menahan kantuk, tapi
kami masih terbayang-bayang oleh kejadian tadi. Hingga resah berhasil
mematahkan rasa kantuk yang ada.
Aku mulai angkat bicara, menceritakan apa yang sebenarnya
kulihat setelah kami meninggalkan Wisma Tumapel, di hari sewaktu Rena pingsan.
Mereka tak kuasa menahan amarah, segala umpatan kini melayang ke arahku. Tepat
seperti dugaanku, mereka semua pasti akan menyalahkanku. Hanya lidah Rena yang
nampaknya kelu, lagi-lagi ia diam seribu bahasa. Matanya memejam, nampaknya ia
kelelahan setelah lebih dari dua jam air matanya berlinangan.
“Oh, Masnya habis dari Wisma Tumapel to?” suara si sopir
menengahi pembicaraan kami.
“Iya pak. Ada apa pak?” tanyaku berusaha menggali sebuah
penjelasan.
“Itu biasa Mas. Yang Sampean lihat itu mungkin si Noni
Belanda yang jadi penunggu rumah itu. Ya, benernya kalau Mas-masnya nggak
macem-macem di sana, nggak ganggu ya nggak apa-apa kok Mas. Mungkin si Noni mau
kenalan” jelasnya sambil terkekeh.
“Noni?” Wendy mengernyitkan dahi.
Noni bukanlah sebuah nama, melainkan sebuah sebutan yang
diberikan oleh orang-orang Jawa, untuk wanita berambut pirang, atau wanita
asing dari luar negeri.
“Kami nggak macem-macem pak di sana. Kami cuma ngambil
foto.” sahut Sandy.
“Atau mungkin Masnya, masuk ruang-ruang yang pintunya
tertutup ya?”
“Emang kenapa pak? Gak boleh ya?”
“Ya mitosnya sih seperti itu Mas.”
Kami mulai berpikir, otak kami berputar mengingat apa yang
kami lakukan di sana. Kami saling bertatapan satu sama lain. Nampaknya kami
sependapat. Kami layangkan pandangan kami ke arah Rena, yang posisinya duduk di
belakang bersandingan denganku.
Betapa terkejutnya aku. Rena tak ada. Hanya sebuah boneka
tua yang usang tergolek di sana. Matanya mengeluarkan darah, bibirnya bergerak
ke atas ke bawah. Di genggamanya ada sepotong jari telunjuk yang berlumuran
darah. Jari telunjuk Rena, aku mengenalinya dari kutek warna cokelat yang ada di kukunya.
Boneka itu menoleh ke arahku, ia tersenyum. Aku menjerit ketakutan. Mobil
kehilangan kendali, si sopir membanting setir ke kanan. Ia berusaha menghindari
seorang wanita bergaun renda-renda berwarna merah muda.
Hanya nama kami yang berhasil selamat. Nama kami terukir di
halaman pertama koran nasional. Nyawa kami meregang di dasar sebuah jurang.
Malang, 2013
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved
0 comments:
Post a Comment