Saturday, January 04, 2014

Sebuah Tulisan di Malam Penghujung Tahun


Tak terasa tahun ini sudah berada di penghujung waktu. Beberapa menit lagi atau bahkan beberapa detik lagi tahun yang lama akan tergantikan dengan tahun yang baru. Meski di luar sana langit tak mau bersahabat dengan acara-acara yang sudah tertata rapi. Hujan enggan peduli dengan hiruk pikuknya celoteh anak-anak kecil yang ingin menghiasi langit malam dengan nyala kembang-kembang api yang warnanya bervariasi. Hujan tak mau mengerti pasangan muda-mudi yang ingin menyongsong harapan baru, harap akan cinta yang takkan tergantikan meski waktu selalu datang bergantian.

Malam tahun baru kali ini aku sendiri. Setelah dalam kurun waktu lebih dari lima tahun, kita selalu merayakannya bersama. Beberapa tahun yang lalu yang sering kusebut dengan nama kita. Namun malam ini berbeda, aku harus menamainya sendiri-sendiri “aku dan kamu”. Inilah yang kusebut juga dengan entah. Seperti malam ini, seperti saat-saat namamu kembali menyeruak hadir dalam ingatanku, kemudian mendesak air dari pelupuk mata untuk jatuh menghujani pipi dan kulit bibir yang telah lama mengering.

Aku memutar ingatanku. Teringat salah satu malam tahun baru yang mengesankan hatiku. Entah mengapa ada senyum, tawa kecil, hingga tangis lirih saat aku harus membuka kembali ingatan itu. Malam tahun baru sederhana namun penuh makna. Hujan yang mengguyur halaman belakang rumahmu kala itu, membuat semuanya basah. Nyala bara api yang tadinya begitu menghangatkan, hanya mengepulkan asap yang membuat kita terbatuk-batuk. Sosis-sosis dan jagung bakar yang tadinya menggiurkan itu turut menjadi korban keganasan sang hujan, hingga akhirnya sebuah piring menyajikan jagung dan sosis bakar berkuah di atasnya. Kemudian kita tertawa bersama. Saling menertawakan hujan yang berhasil  merusak suasana ceria yang ingin kita ciptakan bersama. Hujan yang membuat kita lari mencari sebuah tempat untuk berteduh sembari saling berengkuhan menghangatkan. Di sebuah pendopo yang tak jauh dari tempat bakaran kita saling merebahkan tubuh yang sudah kuyup, merebahkan gigil di antara kita.

Sang waktu terus bergulir, tak ada yang tahu pukul berapa sudah saat itu. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan jam setengah dua belas tepat, namun detik dan menitnya sudah tak lagi bergerak. Nampaknya air hujan juga telah berhasil merenggut nyawa jam di pergelangan tanganku. Handphone kita tertinggal di dalam rumah. Lagi-lagi tawamu pecah, lebih pecah suaranya dari sebuah piring yang sengaja di lempar oleh pemiliknya. Ya, aku pun turut menyusul tawamu yang pecah itu. Belum puas kita menertawakan waktu, kita juga menertawan kembang api yang kita beli. Lima buah kembang api yang kita beli saat senja hampir di telan gelap gulita, basah dan sumbunya tak mau menyala. Mengesalkan memang namun pantas untuk ditertawakan.

Langit yang indah. Inilah perang kataku, perang yang begitu indah. Langit dihujani ribuan kembang api, sedang bumi dihujani air yang juga tak kunjung henti. Senyum merekah di bibir mungilmu. Matamu pantulkan kilauan sinar warna-warni dari langit yang berhiaskan kembang api itu. Dibanding langit yang dihiasi gemerlap kembang api-kembang api itu, aku lebih mengagumi keindahan yang terselip di raut wajahmu yang penuh dengan binar-binar kebahagiaan. Parasmu cantik, lebih cantik daripada pemandangan yang langit berhasil guratkan.

             Hujan membuat tubuhmnu kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat lekuk tubuhmu terlukis jelas di mataku. Hingga akhirnya gigil memaksa kita untuk saling bertautan. Memanggil bibir kita untuk saling berpagutan. Lagi-lagi hujan berhasil membuat kita dimabuk cinta malam itu, dan menanggalkan semua yang berharga dalam diri kita, sebelum kemudian sang Fajar membangunkan sepasang mata kita yang memejam.

Ya, aku ingat waktu-katu itu. Aku ingat kenangan-kenangan itu. Aku selalu mengingatmu, sekalipun terkadang aku berusaha melupakanmu. Aku tak senang melupakanmu, karena itu terlalu menyiksaku.

Sayang, bagaimana malam tahun barumu di sana?
Apakah lebih indah gemerlap warna-warni dilihat dari atas langit sana? 
Apa para malaikat di sana juga bersiap menyongsong tahun baru  dengan sangkakalanya masing-masing?
Sayang, aku merindukanmu. Selamat tahun baru.

Kediri, 2013-2014
( Ditulis pada malam pergantian tahun 2013-2014)


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

0 comments:

Post a Comment