Tak terasa tahun ini sudah berada di penghujung waktu.
Beberapa menit lagi atau bahkan beberapa detik lagi tahun yang lama akan
tergantikan dengan tahun yang baru. Meski di luar sana langit tak mau bersahabat
dengan acara-acara yang sudah tertata rapi. Hujan enggan peduli dengan hiruk
pikuknya celoteh anak-anak kecil yang ingin menghiasi langit malam dengan nyala
kembang-kembang api yang warnanya bervariasi. Hujan tak mau mengerti pasangan
muda-mudi yang ingin menyongsong harapan baru, harap akan cinta yang takkan
tergantikan meski waktu selalu datang bergantian.
Malam tahun baru kali ini aku sendiri. Setelah dalam kurun
waktu lebih dari lima tahun, kita selalu merayakannya bersama. Beberapa tahun
yang lalu yang sering kusebut dengan nama kita. Namun malam ini berbeda, aku
harus menamainya sendiri-sendiri “aku dan kamu”. Inilah yang kusebut juga
dengan entah. Seperti malam ini, seperti saat-saat namamu kembali menyeruak
hadir dalam ingatanku, kemudian mendesak air dari pelupuk mata untuk jatuh
menghujani pipi dan kulit bibir yang telah lama mengering.
Aku memutar ingatanku. Teringat salah satu malam tahun baru
yang mengesankan hatiku. Entah mengapa ada senyum, tawa kecil, hingga tangis
lirih saat aku harus membuka kembali ingatan itu. Malam tahun baru sederhana
namun penuh makna. Hujan yang mengguyur halaman belakang rumahmu kala itu,
membuat semuanya basah. Nyala bara api yang tadinya begitu menghangatkan, hanya
mengepulkan asap yang membuat kita terbatuk-batuk. Sosis-sosis dan jagung bakar
yang tadinya menggiurkan itu turut menjadi korban keganasan sang hujan, hingga
akhirnya sebuah piring menyajikan jagung dan sosis bakar berkuah di atasnya.
Kemudian kita tertawa bersama. Saling menertawakan hujan yang berhasil
merusak suasana ceria yang ingin kita ciptakan bersama. Hujan yang membuat kita
lari mencari sebuah tempat untuk berteduh sembari saling berengkuhan
menghangatkan. Di sebuah pendopo yang tak jauh dari tempat bakaran kita saling
merebahkan tubuh yang sudah kuyup, merebahkan gigil di antara kita.
Sang waktu terus bergulir, tak ada yang tahu pukul berapa
sudah saat itu. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan jam setengah dua belas
tepat, namun detik dan menitnya sudah tak lagi bergerak. Nampaknya air hujan
juga telah berhasil merenggut nyawa jam di pergelangan tanganku. Handphone kita tertinggal di dalam rumah.
Lagi-lagi tawamu pecah, lebih pecah suaranya dari sebuah piring yang sengaja di
lempar oleh pemiliknya. Ya, aku pun turut menyusul tawamu yang pecah itu. Belum
puas kita menertawakan waktu, kita juga menertawan kembang api yang kita beli.
Lima buah kembang api yang kita beli saat senja hampir di telan gelap gulita,
basah dan sumbunya tak mau menyala. Mengesalkan memang namun pantas untuk ditertawakan.
Langit yang indah. Inilah perang kataku, perang yang begitu
indah. Langit dihujani ribuan kembang api, sedang bumi dihujani air yang juga
tak kunjung henti. Senyum merekah di bibir mungilmu. Matamu pantulkan kilauan
sinar warna-warni dari langit yang berhiaskan kembang api itu. Dibanding langit
yang dihiasi gemerlap kembang api-kembang api itu, aku lebih mengagumi
keindahan yang terselip di raut wajahmu yang penuh dengan binar-binar
kebahagiaan. Parasmu cantik, lebih cantik daripada pemandangan yang langit berhasil
guratkan.
Hujan membuat tubuhmnu kuyup dari ujung rambut hingga ujung
kaki, membuat lekuk tubuhmu terlukis jelas di mataku. Hingga akhirnya gigil
memaksa kita untuk saling bertautan. Memanggil bibir kita untuk saling
berpagutan. Lagi-lagi hujan berhasil membuat kita dimabuk cinta malam itu, dan
menanggalkan semua yang berharga dalam diri kita, sebelum kemudian sang Fajar
membangunkan sepasang mata kita yang memejam.
Ya, aku ingat waktu-katu itu. Aku ingat kenangan-kenangan
itu. Aku selalu mengingatmu, sekalipun terkadang aku berusaha melupakanmu. Aku
tak senang melupakanmu, karena itu terlalu menyiksaku.
Sayang, bagaimana malam tahun barumu di sana?
Apakah lebih indah gemerlap warna-warni dilihat dari atas
langit sana?
Apa para malaikat di sana juga bersiap menyongsong tahun
baru dengan sangkakalanya masing-masing?
Sayang, aku merindukanmu. Selamat tahun baru.
Kediri, 2013-2014
( Ditulis pada malam pergantian tahun 2013-2014)
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved
0 comments:
Post a Comment