Putri. Salam hangatku untukmu. Sepagi ini aku ingin
menyapamu. Di bawah payungan mendung yang berhasil mengusir cahya hangat sang
mentari pagi.
Putri. Kali ini, atau bahkan untuk kesekian kalinya aku tak
pernah lelah menyapamu. Setiap hari. Menyebut namamu. Hanya mungkin ini
berbeda. Aku ingin mengukir namamu di sebuah tulisanku, hasil buah pikir dari
benih cinta yang berhasil tumbuh dan kita rawat bersama. Semoga tulisanku
mampu kembangkan senyum di wajahmu. Senyum yang selalu merekah kala kau tersipu
malu, atau dirundung bahagia yang menemanimu.
Putri. Lima tahun sudah kita selalu bersama. Bak
mendayung sampan kecil untuk berlayar, mencari sebuah labuhan sebagai
tempat persinggahan. Ombak kecil, ombak besar, angin kecil dan angin badai kita
lalui bersama. Meski tak jarang pula sampan kita terombang-ambing tak tentu
bahkan terbalik untuk beberapa waktu. Hanya doa dan kepercayaan yang jadi
pemersatu.
Putri. Percayalah suatu saat nanti, kita akan berlayar
bukan dengan sampan ini. Sampan tua kecil yang sudah tak layak lagi tuk
ditunggangi. Kita kan bekerja sama membangun sebuah bahtera. Bahtera sederhana
namun kokoh dan nyaman bagi kita. Bahtera yang selama ini kita harapkan.
Bahtera yang selalu kita impikan. Butuh usaha memang, namun aku percaya kita
bisa.
Putri. Kau tahu, semalam aku bermimpi. Kau pergi dan takkan
pernah kembali. Tak dapat kusangkali, air mata mengucur deras di pipi. Meski
hanya mimpi, rasanya sakit sekali. Aku harap itu hanya benar-benar mimpi, dan
bahtera yang akan kita rakit bukan hanya sebatas angan dalam mimpi.
Kau takkan pergi bukan?
Putri. Satu hal yang kau tahu pasti, Hanya kau yang tahu.
Rasaku ini benar-benar sungguh menyayangi. Rasaku ini harap sungguh bisa
memiliki. Rasaku sungguh telah lama mati, mati jauh terkubur dalam emosi.
Namamu, senyummu sudah hafal setengah mati, maka siapa bisa mengganti?
Putri. Mungkin kau sedikit tak mengerti atau bahkan mungkin
tak peduli dengan tulisan ini. Aku hanya ingin kau sedikit pahami, sedikit
selami. Sedikit saja. Agar aku mengerti, aku masih yang dulu. Yang selalu ada
berdiri di sampingmu meski kadang kala aku bersifat dungu. Aku masih
mencintaimu, selalu.
Putri. Sepucuk surat yang sedang kau baca ini kutulis
dengan hati, bukan lagi sebatas jemari. Dalam tiap-tiap kata kuselipkan doa
diantaranya. Doa untukmu. Juga doa untuk kita pastinya.Sekuat apa pun badai
yang menggelora dan badai menerjang, yakinlah rasa yang kita miliki pun tak
kalah kuat. Aku pun percaya pertolongan sang Khalik takkan pernah sedetik pun
terlambat.
Terimakasih Putri. Aku mencintaimu. Biarlah namamu menjadi
begitu berarti sampai ajal kan menjemput bahtera kita nanti.
Kediri, 2014
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved
Bagus mas :)
ReplyDeletePertanyaannya ini fiksi apa curcol ya hihi :D