Tuesday, February 25, 2014

Jangan Berdiri di Makamku dan Menangis!

Jika esok adalah hari terakhirku
Jangan biarkan tangis yang melepas kepergianku
Rindukanlah aku
Sekarang hingga kita tak bertemu

Aku tidak akan menangis.
Kuseka sudut-sudut mataku yang basah berair, kuhela napas panjang dan memberanikan diri menarik lengannya. Lidahku terasa kelu. Begitu dingin suasana itu, padahal di luar sana langit nampaknya berwarna biru. Jemariku kaku, terasa beku. Aku menatapnya ragu-ragu.
“Jangan menangis, aku masih di sini. Aku takkan pergi!”
Jemarinya yang hangat menyibak-nyibak rambutku, sambil sesekali ia menghujam kening dan tanganku dengan ciumannya. Air matanya mendesak keluar. Aku tahu, ia sudah tak kuasa menahannya. Gemetar tanganku mengusap rambutnya, berusaha menenangkannya. Tapi rasanya percuma, rasa takut sudah merambat di tiap jengkal pikirannya.
Aku membuang muka. Melirik tiap detik yang terus berlalu, terus berputar bersama sang waktu. Andai aku bisa memutar waktu, kuhindari kejadian itu. Aku tersenyum tipis padanya, memberikan sepucuk surat dan kotak berwarna merah. Tak ada salahnya memberikan hadiah untuk seseorang yang selama tiga tahun berhasil menggurat berbagai macam warna di hariku.
“Jangan dibuka sekarang, nanti malam saja ketika kamu sudah berada di rumah.”
“Apa ini? Aku tidak butuh hadiah saat ini! Yang aku butuh kamu!”
Kudengar nadanya tinggi, bercampur isak pedih yang begitu terasa menyayat hati. Ia memelukku erat sekali, begitu lekat hingga kurasakan hangat. Andai kau tahu, aku juga tak ingin kehilanganmu, aku tak ingin pergi meninggalkan kalian semua yang aku cintai.
Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Seandainya pun mata ini masih sanggup membelalak lagi, dan jantung kan berdenyut kembali, namun aku akan jadi seonggok daging yang menghitung mundur hari demi hari menanti kematian menjemput lagi. Kakiku sudah tak bisa dilangkahkan lagi, tanganku takkan pernah berbuah uang lagi. Tak ada guna bukan? Justru aku yang akan membuat beban dalam kehidupanmu, seperti benalu yang tumbuh di inang, hidupmu takkan tenang.
Aku tidak akan menangis.
“Tiap pertemuan selalu berujung perpisahan bukan? Berkali-kali kata ini sering kita jumpai.”
“Sudah jangan bicara yang tidak-tidak. Kita tidak akan berpisah,” ucapnya sambil tersedu-sedu.
“Perpisahan ini bukan karena ketidak cocokan kita, melainkan campur tangan Tuhan di dalamnya. Mungkin suatu saat nanti kau bisa dapatkan yang lebih baik daripada aku,” kataku menimpalnya.
“Tidak. Aku tidak butuh orang lain. Aku mau kamuu!”
“Tenanglah sayang, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan pernah tertidur. Aku akan selalu jadi angin yang berhembus menyejukkanmu. Aku akan jadi bintang-bintang yang menghiasi malam, dan kala kau bangun saat pagi akulah burung-burung yang terbang dengan ringan dan cepat. Percayalah aku tidak mati. Jangan menangis,” aku berbisik pelan di telinganya.
“Sekarang pulanglah, hari sudah larut malam. Besok pagi jemput aku lagi, kutunggu di sini. Ingat jangan kau buka surat dan kotak itu sebelum sampai rumah.”
Ia bertahan memaksa untuk tinggal, hingga akhirnya adikku yang berhasil membujuknya.
Jam berdentang tepat tengah malam. Aku sudah tak sanggup tuk bertahan. Mataku nanar menahan air mata. Pandanganku memudar. Sesekali napasku mulai tersengal.
“Raga, nak bangun nak ini ibu. Bangun nak!” Ibu berteriak sambil terisak.
“Suster! Suster! Tolong, panggilkan dokter!” Terdengar suara ayah samar-samar di telingaku.
“Ibu, maafkan aku sudah terlalu banyak merepotkanmu dan ayah. Jangan menangis, aku tak apa.”
Aku tersenyum sebisanya.
“Terimakasih. Ayah, Bu.”


Sementara di luar sana Dhika adikku, tengah mengantar Mery menuju rumahnya. Seperti dugaanku, Mery takkan punya cukup kesabaran untuk membuka apa isi kotak dan suratku. 

Untuk kekasihku Mery...
Sayang,  saat kau baca surat ini, tentu kau sedang tak bersamaku. Saat kau baca surat ini dan kau dapati aku sudah tak di sisimu lagi, jangan menangis! Namun jika Tuhan berkehendak lain maka bersukacitalah, menangislah dengan haru dan peluklah aku.
Kuucapkan terimakasih sebelumnya untukmu, yang tiap pagi sudah menjelma jadi mentariku dan kala malam menyapa, kau nyaru jadi rembulan. Terimakasih sudah mengenalkanku pada hidup warna-warni, mengajarkanku memperpanjang rasa sabar dan menelan pahitnya rasa rindu yang tak tertahankan.
Tahukah kamu mengapa aku selalu senang menyelidiki tingkah lakumu? Menelanjangi tiap sudut kepribadianmu? Atau hanya sebatas melempar senyum ke arahmu saat aku membaca mata dan bibirmu? Ya, aku senang melakukan itu, dan tak pernah jemu. Aku hanya ingin mengenal sosokmu, yang kulihat berbeda dengan sosok yang lainnya. Aku hanya ingin berjaga-jaga merekam semua bayang parasmu di memoriku, takut-takut kalau waktu dan ruang menyembunyikanmu. Aku tak bisa melihatmu lagi.
Saat kutulis surat ini, yang terbias dalam inginku hanya satu. Kau tahu semua rasaku, mungkin tadi ketika aku bersamamu aku mati kutu, mulutku sudah bisu. Aku tak mengerti apa yang kan kuucapkan padamu. Jika nanti aku benar akan mati, aku hanya ingin menyampaikan satu pesan kepadamu. Jangan pernah menyalahkan siapapun atas kematianku ini, atau bahkan lelaki yang tak berhati-hati mengemudikan laju mobilnya, hingga harus terjadi semua ini. Biarlah aku pergi, relakan aku kembali kepadaNya yang empunya seluruh nafasku ini.

Jangan berdiri di atas makamku dan menangis.
Aku tak ada di sana aku tak tertidur
Aku adalah ribuan angin yang berhembus
Aku adalah kristal yang berkelip di atas salju
Aku adalah sinar mentari pada gandum yang ranum
Kala kau bangun dalam heningnya pagi
Aku adalah hujan yang begitu lembut di musim gugur
Aku adalah burung-burung yang diam mengitari membentuk lingkaran     dengan gerakan ringan dan cepat
Aku adalah bintang-bintang yang menghiasi gelapnya malam
Jangan berdiri di atas makamku, dan jangan menangis
Aku tidak di sana. Aku tidak mati.

Sayang, untukmu juga kusertakan sebuah kotak yang berisikan cincin. Tadinya cincin itu akan kukenakan melingkar di jari manismu, apa dikata takdir berbicara lain. Simpanlah. Aku mencintaimu.

Tak berselang lama nada dering sms dari handphone Dhika berbunyi. Satu pesan dari Ayah terpapar di layar.
Cepat kembali. Kakakmu sudah berpulang untuk selamanya.


NB : Cerpen ini merupakan pengembangan dari puisi seorang penyair yang bernama Mary Elizabeth Frye, “Do Not Stand At My Grave and Weep”

Do Not Stand at My Grave and Weep
Do not stand at my grave and weep
I am not there. I do not sleep.
I am a thousand winds that blow
I am the diamond glints on snow
I am the sunlight on ripened grain
I am the gentle autumn rain
When you awaken in the morning’s hush
I am the swift uplifting rush
Of quiet birds in circled flight
I am the soft stars that shine at night
Do not stand atmy grave and cry
I am not there. I did not die.


Kediri, 2014

© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Monday, February 03, 2014

Cinta Mat(er)i

Ia bahagia dalam pikirannya. Senyum selalu mampu terurai lepas dari bibirnya. Sari, wanita yang sudah setahun ini menemani setiap perjalanan langkah kakinya dan berhasil mengakhiri masa lajang yang ia miliki. Dion, nampaknya sudah benar-benar mampu meluluh lantahkan benteng kokoh hati yang Sari miliki. Sari selama ini dikenal sebagai wanita pemilih dalam mencari pasangan. Bagaimana tidak, Sari adalah seorang model cantik yang namanya sudah merayap hingga sudut-sudut  kota. Sudah banyak deretan laki-laki yang rela mengantri hanya untuk memilikinya, mulai dari yang masih muda hingga para tua-tua keladi tak ingin kalah saling bersaing mendapatkannya. Sangat beruntung, Dion bisa memilikinya. Menurut orang.

Dion sangat mencintai Sari. Sangat. Berbagai macam cara ia lakukan hanya sebatas ingin mengembangkan satu senyuman di bibir Sari. Apapun diturutinya. Tak masalah tentunya, Dion seorang konglomerat yang membawahi beberapa perusahaan ternama di beberapa kota dan belum lama ini Dion telah berhasil mengembangkan sayapnya dalam bisnis property.  Umurnya juga masih cukup muda, 27 tahun, terpaut lebih tua satu tahun ketimbang Sari. Wanita mana yang tak mau bersuamikan lelaki muda yang kaya raya, paras mungkin di urutan kedua. Siapa peduli?

Kecupan hangat dan mesra Sari, mendarat di kening Dion.

“Udah lama Mas nunggunya? Maaf sesi pemotretan hari ini agak molor.”

“Iya nggak apa-apa. Aku juga baru beberapa menit yang lalu tiba, terus rebahan sambil nonton tv.”

Kini jari-jari mungil milik Sari berjalan berpindah tempat, menuju pundak Dion, memijat-mijatnya.

“Mas, kemarin-kemarin kan Mas janji, katanya mau beliin aku mobil baru. Kapan?”

“Iya, secepatnya. Tunggu kalau kamu udah punya waktu luang. Ok?”

“Makasih Mas.”

Sari tersenyum bahagia. Bahagia sekali.

“Jangan senang dulu, aku juga punya permintaan.”

Sari terdiam.

“Jangan pernah tinggalkan aku, jangan pernah duakan aku. Aku terlalu mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu. Apapun yang kau mau akan kuusahakan terpenuhi, asal kau tetap di sampingku.”

Sari menganngguk tanda ia mengerti. Sari memeluknya erat sekali, seakan mengucapkan terimakasih sembari mengucapkan janji setianya.

Dion sadar selama ini semua yang ia dapat tidak gratis. Kebahagiaan, kepedulian, perhatian dan bahkan kasih sayang yang bertahun-tahun lalu ia dapatkan secara cuma-cuma dari kedua orangtuanya, kini ia harus membelinya. Baginya ini bukan sebuah masalah, daripada ia tak bisa mendapatkan setetes pun rasa sayang untuk melegakan jiwa yang dahaga akan jamahan cinta. Dalam pikirannya, ia terus bergumam tentang perihal cara agar Sari tak akan meninggalkannya, bagaimana Sari bisa bahagia dan nyaman bersamanya. Dan kadang Dion pun pernah sesekali berpikir, apakah dulu kedua orangtuanya juga mengalami ini?  Apakah semua orang di luar sana seperti ini? Yang satu memberikan cinta dengan sepenuh hati, sedang yang satu mencari materi sebagai imbalan untuk mencintai. Siapa peduli? Sudah lama cinta berjalan seperti ini. Cinta, mati tanpa materi.

Malang, 2014



© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

BONEKA SI NONI PENUNGGU WISMA TUA

Wisma Tumapel, sebuah sebutan yang diberikan oleh kebanyakan orang di sini, setidaknya nama itulah yang tertera di sebuah papan putih besar di depannya. Entah apa arti dari namanya tak ada yang tahu. Sebuah Wisma tua yang sudah berdiri sejak pemerintahan kolonial belanda tepatnya tahun 1928. Masih berdiri kokoh hingga saat ini, tentunya dengan gaya arsitektur belanda kala itu. Lokasinya tepat di samping Pemerintahan kantor Walikota Malang, Jawa Timur.
Kebanyakan orang berkata bahwa Wisma ini adalah salah satu tempat yang cukup mistis, bagiku ini adalah Wisma dengan pemandangan berkarakteristik yang sangat eksotis. Memang bangunan ini tak berpenghuni lagi sejak berpuluh-puluh tahun silam, dilakukan pemugaran saja tak pernah, hanya dipagari seng-seng hijau disekelilingnya. Namun dengan keunikan-keunikan dan cerita mistis yang ikut mendukung tetap berdirinya Wisma inilah, yang membuat namanya melambung dan menjadi salah satu icon di seantero Malang. Siapa yang tak kenal dengan Wisma Tumapel?
Aku adalah seorang fotografer dari Jakarta. Sudah dua hari ini aku dan rekan-rekanku berada di Malang. Kami menginap di Hotel yang tak jauh lokasinya dari Wisma Tumapel, cukup dengan jalan kaki kami sudah sampai, tak butuh waktu lebih dari sepuluh menit pula. Sudah dari tiga bulan lalu kami siapkan rencana ini matang-matang. Mulai dari survey lokasi, pemilihan para model, pemesanan Hotel dan menyiapkan akomodasi lainnya. Ini bukan event yang biasa buat kami, kami sedang mengikuti sebuah kontes fotografi nasional yang akan berakhir satu minggu lagi, dan kami harus memepersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Juara merupakan target yang harus  kami kejar.
Waktu itu sekitar pukul sepuluh pagi hari. Kami ; seorang model, dua orang fotografer termasuk aku, dan seorang penata rias sekaligus merangkap perlengkapan – telah selesai menyantap menu sarapan yang telah disajikan dan kami bersiap menuju lokasi pemotretan. Ya, Wisma Tumapel.
Seorang penjaga Wisma Tumapel keluar menyambut kedatangan kami, dan tentu saja kami menjelaskan kedatangan dan tujuan kami datang ke Wisma ini. Beliau ramah meski wajahnya nampak sangar, menurutku. Entah orang ini yang sering disebut oleh kebanyakan orang sebagai “penunggu” entahlah. Satu pesan yang beliau berikan kepada kami.
“ Kalau di dalam jangan terlalu berisik ya Mas, jangan macam-macam atau aneh-aneh di dalam. Saya ada di luar kalau butuh apa-apa.”
Baru sampai di pelataran depan wisma ini kami disuguhkan suatu nuansa yang menimbulkan kesan vintage tersendiri, atau mungkin ngeri untuk sebagian orang. Wisma ini warnanya kusam. Cat di dinding mulai pudar dan mengelupas. Lumut-lumut menempel di beberapa bagian dinding yang lembap. Tumbuhan perdu serta semak belukar nampak tumbuh liar di sana. Kayu-kayu jendela dan daun pintu yang nampaknya juga sudah mulai lapuk di beberapa sudut, menambah kesan yang luar biasa di mataku. Perfect kataku mantap.
Rena, seorang model yang sudah tak diragukan lagi kemampuannya dalam dunia fashion. Fotografer profesional dan ternama di Indonesia pun pernah memakainya sebagai sasaran objek kameranya. Parasnya tak cantik, namun begitu manis. Kulitnya sawo matang, warna kulit yang elegan, warna yang cocok untuk tema yang kami ambil untuk pemotretan kali ini “Back to Vintage”. Lekuk tubuhnya sungguh sempurna, mata lelaki mana yang tak leleh, terpesona dibuatnya.
Belum jauh kaki kami melangkah dari pintu masuk menuju ruang utama. Rena, mendadak wajahnya berubah warna. Wajahnya pucat pasi. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya membisu, tubuhnya seakan kaku. Sontak kami semua gelisah dibuatnya Sedang suara angin mulai menderit-derit menelusup dari celah-celah jendela. Kami berusaha menyadarkan Rena dari tatapan kosongnya.
“Ren, Ren kamu kenapa Ren?”
“Ren, halo Ren sadar Ren. Rena! Sadar Ren!!” kami berusaha meneriakinya. Tak mau kalah, tamparan-tamparan pelan mendarat di pipi halusnya.
“Wuuuuuaaaaa!!!”
“Hahaha ketipu semuanya. Kenapa, kalian semua takut ya? Kok kayak mau nangis gitu?” ucap Rena sambil mengeluarkan tawa puasnya.
“Gila kamu Ren. Gak lucu tau.” ucap Sandy kesal.
“Ini bukan waktunya buat bercanda Ren. Inget kita punya target yang harus di kejar, gak ada waktu buat bercanda. Ngerti kamu?” umpatku kesal sembari menyiapkan lensa-lensa yang harus kugunakan.
“Iya maaf.” Katanya sambil menahan tawa.
“Udah, puas kan kamu ngerjain kita? Sana pake tuh make up kamu!.”
“Wen, tolong kamu siapin tuh kostum sama aksesoris yang dibutuhin sama si Rena.”
Setelah kami rasa pengambilan gambar di pekarangan depan dan ruang utama sudah cukup, kami lanjutkan pengambilan berikutnya di lantai dua Wisma ini. Setelah menaiki anak tangga yang kira-kira berjumlah kurang lebih dua puluh sampai tiga puluh  anak tangga, kami di sambut sebuah lorong yang lumayan panjang namun sempit. Di samping kanan ada beberapa ruang kosong, mirip seperti lorong sebuah penginapan. Sedang di sebelah kiri, kami bisa melihat pemandangan di luar melalui kaca-kaca jendela yang cukup besar ; mulai dari pekarangan samping hingga jalan raya di seberang sana. Lorong ini gelap, tak ada lampu, hanya sinar mentari yang berhasil menerobos masuk dalam ruang inilah satu-satunya sumber penerangan kami.
Rena menangis. Air matanya perlahan jatuh, membasahi pipinya. Eyeshadow hitamnya luntur. Lagi-lagi tubunya kaku. Tatapannya tajam, seakan ingin mengatakan sesuatu.
“Ren, udah Ren. Nggak lucu tau. Jangan bercanda lagi.” ucap Sandy ketus, acuh tak mau tahu. Ia tetap melanjutkan membidikkan kameranya ke tiap sudut bagian wisma ini.
“Iya Ren, udah ah jangan bercanda lagi kamu. Ayo kita lanjut lagi, biar cepet kelar, kita semua juga udah capek Ren. Kita semua laper.” tukasku cukup kasar. Mataku berusaha menelanjangi tiap sudut ruang wisma ini, mencari apa yang sebenarnya ditatap oleh Rena.
Braak!
“Renaa! Sandy, Widi,  tolong bantuin.” Wendy sontak menjerit karena kaget. Rena pingsan.
Doa-doa dipanjatkan oleh sang penjaga wisma. Kami hanya bisa diam memandang tubuh Rena yang terkulai lemas. Ia baru siuman, sebotol air mineral diteguknya.
“Kamu nggak apa- apa Ren? Kamu kenapa?” tanyaku cemas, melihat tubuhnya yang lemas.
“Sudah, nggak apa-apa Mas. Ini Mbaknya mungkin kecapekan aja. Sebaiknya sekarang pulang dulu aja, istirahat dulu.” Penjaga itu coba menasehati kami. Namun tak ada satu kata pun untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Terpaksa pemotretan kali ini kami pending lebih dulu. Tak mungkin dilanjutkan juga. Rena masih terlihat tak berdaya, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hari juga sudah mulai sore, sungguh tak terasa. Nampaknya aku yang sedikit agak kecewa. Karena aku punya ambisi, aku terobsesi menjadi pemenang tahun ini.
Aku berjalan di belakang mereka. Dari luar rumah, aku berusaha melihat ke arah jendela yang terbuka tepat dimana si Rena tiba-tiba pingsan. Mataku terperanga. Sosok gadis jelita ada di sana. Rambutnya pirang mengombak. sebuah topi giant hat sun cokelat muda dengan hiasan pita putih di samping, bertengger di kepalanya. Warna  matanya biru, sebiru air laut di perairan yang dalam. Senyumnya sungguh mempesona. Bergaun merah muda berenda-renda. Direngkuhnya dengan kedua tangannya sebuah boneka, tak jelas boneka apa. Digendongnya boneka itu layaknya seorang bayi kecil yang butuh kasih sayang dari Ibunya. Kemudian cairan kental, terlihat hitam keluar perlahan dari matanya. Wanita itu menangis. Jantungku mulai berdegup tak karuan. Kubuang pandangan mataku ke punggung Sandy, Rena dan Wendy yang berada di depanku.  Siapa dia? Rasanya tak ada orang lain lagi selain kami yang berkunjung ke sini. Atau mungkin itu istri dari sang penjaga wisma ini? Meski hati tak ingin, tapi mata ini tetap tergoda tuk menengok kebelakang lagi. Sosok wanita itu lenyap, hanya ruang gelap yang kosong yang ada dalam penglihatanku. Aku tak percaya hal-hal yang mistis, dan andai itu benar aku tak akan mempercayainya. Mungkin aku terlalu lelah, aku butuh istirahat. Aku akan tutup mulut. Mungkin saja aku penglihatanku yang salah, aku tak ingin pemotretan ini gagal hanya karena mitos-mitos yang belum jelas kepastiannya.
Keesokan harinya kami kembali. Kembali dengan langkah yang pasti dengan stamina dan semangat yang sudah terisi lagi. Senyum sudah nampak merekah di bibir Rena. Rena tak mengatakan apapun tentang kejadian yang ia alami kemarin. Ia tak ingat apa-apa katanya. Kami pun tak berusaha mencari tahu. Kali ini doa kami panjatkan sebelum masuk Wisma dan memulai aksi pengambilan gambar.
Lantai dua. Lorong sempit, tempat Rena kemarin pingsan. Di sini kami akan mengambil gambar lagi, setelah kemarin kami tak mendapat satu gambar apapun dari Rena selain gambar-gambar ruang kosong  tanpa penghuni. Ya lagi-lagi kami hanya berempat, tak ada pengunjung lain. Padahal sering kudengar wisma ini sering dijadikan objek atau latar pengambilan gambar. Ya mungkin hanya kebetulan, pikirku.
Aku dan Sandy menyiapkan tripod yang akan kami gunakan. Wendy sibuk mencari alat-alat rias dalam tas hitam yang cukup besar. Rena, mencoba masuk dalam satu ruang kosong yang ternyata pintunya tidak dikunci. Sebuah boneka bayi perempuan, dengan gaun merah muda yang cukup lusuh seta rambut berwarna pirang kehitaman karena debu, kini ada di tangannya. Aku terkejut melihatnya.
“Ren, itu boneka siapa? Kamu dapet dari mana?” suaraku menceracau. Aku ragu, bukankah boneka itu yang kemarin aku lihat bersama seorang wanita? Aku masih tak percaya.
“Aku dapet dari dalem situ. Tergeletak di lantai.”
“Kembaliin Ren. Udahlah jangan aneh-aneh lagi. Aku males tau ah kalau kayak gini.” Sandy nampak geram, umpatnya dengan penuh amarah yang meluap-luap.
Aku berusaha menenangkan mereka.
Braak! Braaak! Braaak! Suara hantaman pintu serta jendela yang menutup secara bersamaan membuat kami terkejut. Kami terdiam. Tak ada angin yang berhembus, mungkin ada orang di bawah. Kami mencoba tetap tenang. Suara itu terdengar dari ruang bawah. Kami berkumpul, tubuh kami merapat, tangan kami berpegang erat. Jari-jari kami basah oleh keringat yang mengucur dingin. Degup jantung kami yang berdetak semakin kencang terdengar begitu jelas. Suara ketukan terdengar perlahan. Kami semua mendengarnya. Bukan, bukan ketukan. Itu suara yang dihasilkan dari sepatu high heel ketika menapak, ya itu suara langkah kaki.
“Siapa di sana? Halo, ada orang di sana?” teriak Sandy memecah keheningan.
Tiba-tiba seekor kucing hitam muncul dari anak tangga. Ia hanya mengeong, tatapannya tajam menatap ke arah kami. Kami pikir ia ingin mengucapkan sesuatu.
“Haaaaaaaaaaa!!” Rena menjerit ketakutan sambil melempar boneka perempuan yang tadinya ada dalam pelukannya. Boneka itu terlempar keluar jendela.
“Kenapa Ren?” Wendy memeluknya, Wendy berusaha menenangkannya.
“Itu, boneka itu..”
“Iya, bonekanya kenapa?” Aku berusaha menangkap apa yang sebenarnya ingin Rena sampaikan. Ucapan Rena terbata-bata, suaranya parau karena menahan isak.
“Boneka itu matanya menyala. Bibirnya bergerak-gerak. Boneka itu mengucapkan sesuatu.”
Suasana kini berubah. Angin dingin menyelimuti sekujur tubuh kami. Bulu-bulu di leher kini mulai berdiri. Kucing hitam tadi menghilang. Kami lari sekuat daya yang ada, meninggalkan wisma ini dengan terbirit-birit.
Malam ini juga kami putuskan kembali ke Jakarta. Kami menyewa sopir. Kami pikir - kami tidak akan sanggup untuk membawa mobil ini sendiri setelah kejadian tadi. Pikiran kami masih melayang, pikiran kami meracau sungguh kacau. Ketakutan menghantui kami sepanjang perjalanan. Tubuh kami lelah, mata kami pun sebenarnya sudah tak kuasa tuk menahan kantuk, tapi kami masih terbayang-bayang oleh kejadian tadi. Hingga resah berhasil mematahkan rasa kantuk yang ada.
Aku mulai angkat bicara, menceritakan apa yang sebenarnya kulihat setelah kami meninggalkan Wisma Tumapel, di hari sewaktu Rena pingsan. Mereka tak kuasa menahan amarah, segala umpatan kini melayang ke arahku. Tepat seperti dugaanku, mereka semua pasti akan menyalahkanku. Hanya lidah Rena yang nampaknya kelu, lagi-lagi ia diam seribu bahasa. Matanya memejam, nampaknya ia kelelahan setelah lebih dari dua jam air matanya berlinangan.
“Oh, Masnya habis dari Wisma Tumapel to?” suara si sopir menengahi pembicaraan kami.
“Iya pak. Ada apa pak?” tanyaku berusaha menggali sebuah penjelasan.
“Itu biasa Mas. Yang Sampean lihat itu mungkin si Noni Belanda yang jadi penunggu rumah itu. Ya, benernya kalau Mas-masnya nggak macem-macem di sana, nggak ganggu ya nggak apa-apa kok Mas. Mungkin si Noni mau kenalan” jelasnya sambil terkekeh.
“Noni?” Wendy mengernyitkan dahi.
Noni bukanlah sebuah nama, melainkan sebuah sebutan yang diberikan oleh orang-orang Jawa, untuk wanita berambut pirang, atau wanita asing dari luar negeri.
“Kami nggak macem-macem pak di sana. Kami cuma ngambil foto.” sahut Sandy.
“Atau mungkin Masnya, masuk ruang-ruang yang pintunya tertutup ya?”
“Emang kenapa pak? Gak boleh ya?”
“Ya mitosnya sih seperti itu Mas.”
Kami mulai berpikir, otak kami berputar mengingat apa yang kami lakukan di sana. Kami saling bertatapan satu sama lain. Nampaknya kami sependapat. Kami layangkan pandangan kami ke arah Rena, yang posisinya duduk di belakang bersandingan denganku.
Betapa terkejutnya aku. Rena tak ada. Hanya sebuah boneka tua yang usang tergolek di sana. Matanya mengeluarkan darah, bibirnya bergerak ke atas ke bawah. Di genggamanya ada sepotong jari telunjuk yang berlumuran darah. Jari telunjuk Rena, aku mengenalinya dari kutek warna cokelat yang ada di kukunya. Boneka itu menoleh ke arahku, ia tersenyum. Aku menjerit ketakutan. Mobil kehilangan kendali, si sopir membanting setir ke kanan. Ia berusaha menghindari seorang wanita bergaun renda-renda berwarna merah muda.
Hanya nama kami yang berhasil selamat. Nama kami terukir di halaman pertama koran nasional. Nyawa kami meregang di dasar sebuah jurang.

Malang, 2013


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved