Jika
esok adalah hari terakhirku
Jangan
biarkan tangis yang melepas kepergianku
Rindukanlah
aku
Sekarang
hingga kita tak bertemu
Aku tidak akan menangis.
Kuseka sudut-sudut mataku yang basah berair, kuhela napas
panjang dan memberanikan diri menarik lengannya. Lidahku terasa kelu. Begitu
dingin suasana itu, padahal di luar sana langit nampaknya berwarna biru.
Jemariku kaku, terasa beku. Aku menatapnya ragu-ragu.
“Jangan menangis, aku masih di sini. Aku takkan pergi!”
Jemarinya yang hangat menyibak-nyibak rambutku, sambil
sesekali ia menghujam kening dan tanganku dengan ciumannya. Air matanya
mendesak keluar. Aku tahu, ia sudah tak kuasa menahannya. Gemetar tanganku
mengusap rambutnya, berusaha menenangkannya. Tapi rasanya percuma, rasa takut
sudah merambat di tiap jengkal pikirannya.
Aku membuang muka. Melirik tiap detik yang terus berlalu,
terus berputar bersama sang waktu. Andai aku bisa memutar waktu, kuhindari
kejadian itu. Aku tersenyum tipis padanya, memberikan sepucuk surat dan kotak
berwarna merah. Tak ada salahnya memberikan hadiah untuk seseorang yang selama
tiga tahun berhasil menggurat berbagai macam warna di hariku.
“Jangan dibuka sekarang, nanti malam saja ketika kamu sudah
berada di rumah.”
“Apa ini? Aku tidak butuh hadiah saat ini! Yang aku butuh
kamu!”
Kudengar nadanya tinggi, bercampur isak pedih yang begitu
terasa menyayat hati. Ia memelukku erat sekali, begitu lekat hingga kurasakan
hangat. Andai kau tahu, aku juga tak ingin kehilanganmu, aku tak ingin pergi
meninggalkan kalian semua yang aku cintai.
Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Seandainya pun mata ini
masih sanggup membelalak lagi, dan jantung kan berdenyut kembali, namun aku
akan jadi seonggok daging yang menghitung mundur hari demi hari menanti
kematian menjemput lagi. Kakiku sudah tak bisa dilangkahkan lagi, tanganku
takkan pernah berbuah uang lagi. Tak ada guna bukan? Justru aku yang akan
membuat beban dalam kehidupanmu, seperti benalu yang tumbuh di inang, hidupmu
takkan tenang.
Aku tidak akan menangis.
“Tiap pertemuan selalu berujung perpisahan bukan?
Berkali-kali kata ini sering kita jumpai.”
“Sudah jangan bicara yang tidak-tidak. Kita tidak akan
berpisah,” ucapnya sambil tersedu-sedu.
“Perpisahan ini bukan karena ketidak cocokan kita,
melainkan campur tangan Tuhan di dalamnya. Mungkin suatu saat nanti kau bisa
dapatkan yang lebih baik daripada aku,” kataku menimpalnya.
“Tidak. Aku tidak butuh orang lain. Aku mau kamuu!”
“Tenanglah sayang, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan
pernah tertidur. Aku akan selalu jadi angin yang berhembus menyejukkanmu. Aku
akan jadi bintang-bintang yang menghiasi malam, dan kala kau bangun saat pagi
akulah burung-burung yang terbang dengan ringan dan cepat. Percayalah aku tidak
mati. Jangan menangis,” aku berbisik pelan di telinganya.
“Sekarang pulanglah, hari sudah larut malam. Besok pagi
jemput aku lagi, kutunggu di sini. Ingat jangan kau buka surat dan kotak itu
sebelum sampai rumah.”
Ia bertahan memaksa untuk tinggal, hingga akhirnya adikku
yang berhasil membujuknya.
Jam berdentang tepat tengah malam. Aku sudah tak sanggup
tuk bertahan. Mataku nanar menahan air mata. Pandanganku memudar. Sesekali
napasku mulai tersengal.
“Raga, nak bangun nak ini ibu. Bangun nak!” Ibu berteriak
sambil terisak.
“Suster! Suster! Tolong, panggilkan dokter!” Terdengar
suara ayah samar-samar di telingaku.
“Ibu, maafkan aku sudah terlalu banyak merepotkanmu dan
ayah. Jangan menangis, aku tak apa.”
Aku tersenyum sebisanya.
“Terimakasih. Ayah, Bu.”
Sementara di luar sana Dhika adikku, tengah mengantar Mery
menuju rumahnya. Seperti dugaanku, Mery takkan punya cukup kesabaran untuk
membuka apa isi kotak dan suratku.
Untuk
kekasihku Mery...
Sayang,
saat kau baca surat ini, tentu kau sedang tak bersamaku. Saat kau baca
surat ini dan kau dapati aku sudah tak di sisimu lagi, jangan menangis! Namun
jika Tuhan berkehendak lain maka bersukacitalah, menangislah dengan haru dan
peluklah aku.
Kuucapkan
terimakasih sebelumnya untukmu, yang tiap pagi sudah menjelma jadi mentariku
dan kala malam menyapa, kau nyaru jadi rembulan. Terimakasih sudah
mengenalkanku pada hidup warna-warni, mengajarkanku memperpanjang rasa sabar
dan menelan pahitnya rasa rindu yang tak tertahankan.
Tahukah
kamu mengapa aku selalu senang menyelidiki tingkah lakumu? Menelanjangi tiap
sudut kepribadianmu? Atau hanya sebatas melempar senyum ke arahmu saat aku
membaca mata dan bibirmu? Ya, aku senang melakukan itu, dan tak pernah jemu.
Aku hanya ingin mengenal sosokmu, yang kulihat berbeda dengan sosok yang
lainnya. Aku hanya ingin berjaga-jaga merekam semua bayang parasmu di memoriku,
takut-takut kalau waktu dan ruang menyembunyikanmu. Aku tak bisa melihatmu lagi.
Saat
kutulis surat ini, yang terbias dalam inginku hanya satu. Kau tahu semua
rasaku, mungkin tadi ketika aku bersamamu aku mati kutu, mulutku sudah bisu.
Aku tak mengerti apa yang kan kuucapkan padamu. Jika nanti aku benar akan mati,
aku hanya ingin menyampaikan satu pesan kepadamu. Jangan pernah menyalahkan
siapapun atas kematianku ini, atau bahkan lelaki yang tak berhati-hati
mengemudikan laju mobilnya, hingga harus terjadi semua ini. Biarlah aku pergi,
relakan aku kembali kepadaNya yang empunya seluruh nafasku ini.
Jangan
berdiri di atas makamku dan menangis.
Aku tak
ada di sana aku tak tertidur
Aku
adalah ribuan angin yang berhembus
Aku
adalah kristal yang berkelip di atas salju
Aku
adalah sinar mentari pada gandum yang ranum
Kala kau
bangun dalam heningnya pagi
Aku
adalah hujan yang begitu lembut di musim gugur
Aku
adalah burung-burung yang diam mengitari membentuk lingkaran dengan
gerakan ringan dan cepat
Aku
adalah bintang-bintang yang menghiasi gelapnya malam
Jangan
berdiri di atas makamku, dan jangan menangis
Sayang,
untukmu juga kusertakan sebuah kotak yang berisikan cincin. Tadinya cincin itu
akan kukenakan melingkar di jari manismu, apa dikata takdir berbicara lain.
Simpanlah. Aku mencintaimu.
Tak berselang lama nada dering sms dari handphone Dhika
berbunyi. Satu pesan dari Ayah terpapar di layar.
Cepat kembali. Kakakmu sudah berpulang untuk selamanya.
NB : Cerpen ini merupakan pengembangan
dari puisi seorang penyair yang bernama Mary Elizabeth Frye , “Do Not Stand At My Grave and Weep”
Do not stand at my grave and weep
I am not there. I do not sleep.
I am a thousand winds that blow
I am the diamond glints on snow
I am the sunlight on ripened
grain
I am the gentle autumn rain
When you awaken in the morning’s
hush
I am the swift uplifting rush
Of quiet birds in circled flight
I am the soft stars that shine
at night
Do not stand atmy grave and cry
I am not there. I did not die.
Kediri, 2014
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved
0 comments:
Post a Comment