Tuesday, February 25, 2014

Jangan Berdiri di Makamku dan Menangis!

Jika esok adalah hari terakhirku
Jangan biarkan tangis yang melepas kepergianku
Rindukanlah aku
Sekarang hingga kita tak bertemu

Aku tidak akan menangis.
Kuseka sudut-sudut mataku yang basah berair, kuhela napas panjang dan memberanikan diri menarik lengannya. Lidahku terasa kelu. Begitu dingin suasana itu, padahal di luar sana langit nampaknya berwarna biru. Jemariku kaku, terasa beku. Aku menatapnya ragu-ragu.
“Jangan menangis, aku masih di sini. Aku takkan pergi!”
Jemarinya yang hangat menyibak-nyibak rambutku, sambil sesekali ia menghujam kening dan tanganku dengan ciumannya. Air matanya mendesak keluar. Aku tahu, ia sudah tak kuasa menahannya. Gemetar tanganku mengusap rambutnya, berusaha menenangkannya. Tapi rasanya percuma, rasa takut sudah merambat di tiap jengkal pikirannya.
Aku membuang muka. Melirik tiap detik yang terus berlalu, terus berputar bersama sang waktu. Andai aku bisa memutar waktu, kuhindari kejadian itu. Aku tersenyum tipis padanya, memberikan sepucuk surat dan kotak berwarna merah. Tak ada salahnya memberikan hadiah untuk seseorang yang selama tiga tahun berhasil menggurat berbagai macam warna di hariku.
“Jangan dibuka sekarang, nanti malam saja ketika kamu sudah berada di rumah.”
“Apa ini? Aku tidak butuh hadiah saat ini! Yang aku butuh kamu!”
Kudengar nadanya tinggi, bercampur isak pedih yang begitu terasa menyayat hati. Ia memelukku erat sekali, begitu lekat hingga kurasakan hangat. Andai kau tahu, aku juga tak ingin kehilanganmu, aku tak ingin pergi meninggalkan kalian semua yang aku cintai.
Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Seandainya pun mata ini masih sanggup membelalak lagi, dan jantung kan berdenyut kembali, namun aku akan jadi seonggok daging yang menghitung mundur hari demi hari menanti kematian menjemput lagi. Kakiku sudah tak bisa dilangkahkan lagi, tanganku takkan pernah berbuah uang lagi. Tak ada guna bukan? Justru aku yang akan membuat beban dalam kehidupanmu, seperti benalu yang tumbuh di inang, hidupmu takkan tenang.
Aku tidak akan menangis.
“Tiap pertemuan selalu berujung perpisahan bukan? Berkali-kali kata ini sering kita jumpai.”
“Sudah jangan bicara yang tidak-tidak. Kita tidak akan berpisah,” ucapnya sambil tersedu-sedu.
“Perpisahan ini bukan karena ketidak cocokan kita, melainkan campur tangan Tuhan di dalamnya. Mungkin suatu saat nanti kau bisa dapatkan yang lebih baik daripada aku,” kataku menimpalnya.
“Tidak. Aku tidak butuh orang lain. Aku mau kamuu!”
“Tenanglah sayang, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan pernah tertidur. Aku akan selalu jadi angin yang berhembus menyejukkanmu. Aku akan jadi bintang-bintang yang menghiasi malam, dan kala kau bangun saat pagi akulah burung-burung yang terbang dengan ringan dan cepat. Percayalah aku tidak mati. Jangan menangis,” aku berbisik pelan di telinganya.
“Sekarang pulanglah, hari sudah larut malam. Besok pagi jemput aku lagi, kutunggu di sini. Ingat jangan kau buka surat dan kotak itu sebelum sampai rumah.”
Ia bertahan memaksa untuk tinggal, hingga akhirnya adikku yang berhasil membujuknya.
Jam berdentang tepat tengah malam. Aku sudah tak sanggup tuk bertahan. Mataku nanar menahan air mata. Pandanganku memudar. Sesekali napasku mulai tersengal.
“Raga, nak bangun nak ini ibu. Bangun nak!” Ibu berteriak sambil terisak.
“Suster! Suster! Tolong, panggilkan dokter!” Terdengar suara ayah samar-samar di telingaku.
“Ibu, maafkan aku sudah terlalu banyak merepotkanmu dan ayah. Jangan menangis, aku tak apa.”
Aku tersenyum sebisanya.
“Terimakasih. Ayah, Bu.”


Sementara di luar sana Dhika adikku, tengah mengantar Mery menuju rumahnya. Seperti dugaanku, Mery takkan punya cukup kesabaran untuk membuka apa isi kotak dan suratku. 

Untuk kekasihku Mery...
Sayang,  saat kau baca surat ini, tentu kau sedang tak bersamaku. Saat kau baca surat ini dan kau dapati aku sudah tak di sisimu lagi, jangan menangis! Namun jika Tuhan berkehendak lain maka bersukacitalah, menangislah dengan haru dan peluklah aku.
Kuucapkan terimakasih sebelumnya untukmu, yang tiap pagi sudah menjelma jadi mentariku dan kala malam menyapa, kau nyaru jadi rembulan. Terimakasih sudah mengenalkanku pada hidup warna-warni, mengajarkanku memperpanjang rasa sabar dan menelan pahitnya rasa rindu yang tak tertahankan.
Tahukah kamu mengapa aku selalu senang menyelidiki tingkah lakumu? Menelanjangi tiap sudut kepribadianmu? Atau hanya sebatas melempar senyum ke arahmu saat aku membaca mata dan bibirmu? Ya, aku senang melakukan itu, dan tak pernah jemu. Aku hanya ingin mengenal sosokmu, yang kulihat berbeda dengan sosok yang lainnya. Aku hanya ingin berjaga-jaga merekam semua bayang parasmu di memoriku, takut-takut kalau waktu dan ruang menyembunyikanmu. Aku tak bisa melihatmu lagi.
Saat kutulis surat ini, yang terbias dalam inginku hanya satu. Kau tahu semua rasaku, mungkin tadi ketika aku bersamamu aku mati kutu, mulutku sudah bisu. Aku tak mengerti apa yang kan kuucapkan padamu. Jika nanti aku benar akan mati, aku hanya ingin menyampaikan satu pesan kepadamu. Jangan pernah menyalahkan siapapun atas kematianku ini, atau bahkan lelaki yang tak berhati-hati mengemudikan laju mobilnya, hingga harus terjadi semua ini. Biarlah aku pergi, relakan aku kembali kepadaNya yang empunya seluruh nafasku ini.

Jangan berdiri di atas makamku dan menangis.
Aku tak ada di sana aku tak tertidur
Aku adalah ribuan angin yang berhembus
Aku adalah kristal yang berkelip di atas salju
Aku adalah sinar mentari pada gandum yang ranum
Kala kau bangun dalam heningnya pagi
Aku adalah hujan yang begitu lembut di musim gugur
Aku adalah burung-burung yang diam mengitari membentuk lingkaran     dengan gerakan ringan dan cepat
Aku adalah bintang-bintang yang menghiasi gelapnya malam
Jangan berdiri di atas makamku, dan jangan menangis
Aku tidak di sana. Aku tidak mati.

Sayang, untukmu juga kusertakan sebuah kotak yang berisikan cincin. Tadinya cincin itu akan kukenakan melingkar di jari manismu, apa dikata takdir berbicara lain. Simpanlah. Aku mencintaimu.

Tak berselang lama nada dering sms dari handphone Dhika berbunyi. Satu pesan dari Ayah terpapar di layar.
Cepat kembali. Kakakmu sudah berpulang untuk selamanya.


NB : Cerpen ini merupakan pengembangan dari puisi seorang penyair yang bernama Mary Elizabeth Frye, “Do Not Stand At My Grave and Weep”

Do Not Stand at My Grave and Weep
Do not stand at my grave and weep
I am not there. I do not sleep.
I am a thousand winds that blow
I am the diamond glints on snow
I am the sunlight on ripened grain
I am the gentle autumn rain
When you awaken in the morning’s hush
I am the swift uplifting rush
Of quiet birds in circled flight
I am the soft stars that shine at night
Do not stand atmy grave and cry
I am not there. I did not die.


Kediri, 2014

© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

0 comments:

Post a Comment