Friday, November 28, 2014

Mama



Pagi tadi aku memanggilmu dengan sebutan Mama. Sama dengan yang lain; belasan anak perempuan yang tinggal di rumah mewahmu. Besok usiaku genap 17 tahun. Sebagai seorang Ibu, kau telah mempersiapkan hadiah istimewa untukku. 
“Nanti malam tunggu saja di kamarmu, akan kubawakan hadiah spesial untukmu,” bisikmu di telingaku.

            Benar, tak perlu menunggu besok pagi. Hadiah darimu sudah kuterima malam ini. Katamu, ini akan jadi hadiah yang paling mahal dan istimewa untukku.

            “Apa kau suka dengan hadiahmu semalam?” tanyamu sumringah sembari memberi beberapa lembaran uang bagianku. 
             Harusnya kau tahu apa jawabanku, ada sebuah luka yang takkan pernah hilang ditelan masa.


Malang, 24 Oktober 2014
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Keinginanmu Pergi...



Keinginanmu pergi ialah segala raut pagi yang berselimut kabut tebal, serta kening-kening  awan yang mengerut. Menyimpan sejuta rahasia yang benar-benar ingin kau bawa bersama. Mungkin kepergianmu hanya gerimis biasa, mungkin juga akan jadi badai yang luar biasa. Membasahi tiap jalan-jalan serta sudut-sudut ruang kenangan yang paling dalam. Kemudian akan ada genangan di beberapa bagian yang sengaja kau tinggalkan. 

Entah suka atau duka di dalamnya, kau takkan lagi sedikitpun peduli. Karena ini hal yang paling kau ingini. Pergi dari kota mati, mencari gedung yang paling tinggi kemudian bunuh diri atau ke kota lain yang sepanjang hari tak pernah sunyi.

Keinginanmu pergi,  mungkin takkan pernah membawamu kembali...




Malang, 28 November 2014
di pagi yang kurang bersahabat, berselimut mendung pekat
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Thursday, November 27, 2014

SUARA YANG DIPADU MENJADI CANDU



Banyak bulan, hari, jam , menit bahkan detik yang sudah tak bisa kuhitung. Namun perjalanan hidup yang masih panjang takkan mampu membuatku lupa. Takkan mampu menghapuskan jejak rekaman yang pernah diperdendangkan dalam ingatan.
 
Sesekali waktu biarkanlah aku mengingatnya kembali. Tentang sebuah hangatnya kebersamaan. Tentang lenggak-lenggok tubuh atau lirikan mata yang mengikuti sebuah alunan nada. Tentang empat jenis suara yang dipadukan jadi satu kesatuan warna. Tentang riuhnya tepuk tangan serta aroma kepuasan sebuah kemenangan. Atau bahkan hanya sekedar ingin merasakan debar-debar jantung yang membuat candu dalam setiap pagelaran.

Sesekali waktu biarkanlah hidup ini serupa paduan suara. Belajar memberikan yang terbaik, belajar menjadi sempurna dalam segala suasana. Berdiri tegap di depan para juri atau para penonton, sekadar melempar senyum hangat sejenak melupakan segala kegundahan yang ada. Menyelaraskan suara di tengah keberagaman yang ada. Belajar berlapang dada, meskipun rasa kecewa ada. Menggenggam rasa yakin pasti bisa demi sebuah penampilan yang luar biasa.

Ketahuilah, sebab kegiatan yang kian menderas dalam hidup, tak membuat sebuah kenangan kan bertahan lama. Sebab kan ada waktunya lidah kelu menceritakan sebuah kisah masa lalu.  Aku hanya berharap ketika rambutmu mulai memutih, ketika sepasang matamu mulai merabun, ketika ingatanmu mulai meraba-raba karena pikun; akan ada tentangmu tentangku tentang kita yang ditulis sejarah.

Ketahuilah, barangkali waktu yang berputar ialah keganjilan yang tak selalu digenapkan oleh sebuah hangatnya kehadiran. Barangkali waktu yang berjalan, ialah keganjilan yang tak pernah digenapkan oleh sebuah kebersamaan yang berlangsung lama. 

Dibanding rumah megah namun sunyi,
Kebersamaan ini lebih mewah  dan berbunyi





Malang, 26 November 2014
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved