Tuesday, December 23, 2014

LUNAS



 Sumber: Monday Flash Fiction

      Kuceritakan padamu, sebuah kisah tentang nyawa dan keadilan yang bisa dibeli oleh orang kaya, yang bisa menggunakan hartanya semena-mena.
            Tepatnya setahun lalu. Seorang laki-laki pemilik perusahaan terkemuka di Negeri ini, dibebaskan dari tuduhan yang menimpanya. Hukuman maksimal 12 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 24.000.000 yang telah diatur dalam UU LLAJ pasal 311 ayat 5, kandas begitu saja; dengan alasan si korban yang salah, pindah lajur tanpa memberikan kode.
            Jelas sekali malam itu para Polisi dan penyidik menyatakan bahwa laki-laki itu positif mengonsumsi minuman beralkohol kadar tinggi. Bagaimana mungkin dia bisa lolos jika bukan karena uang?
            Giliran si korban yang kuceritakan. Sebagai seorang suami, Pardi, berusaha mencukupi kebutuhan istrinya yang tengah mengandung. Pardi tak kenal lelah mengayuh sepeda tuanya mengais rezeki menjadi buruh serabutan. Apapun dikerjakan demi lembar-lembar rupiah sebagai persiapan lahirnya si jabang bayi. 
            Malam itu, malam terakhirnya. Kini istrinya yang harus banting tulang, demi susu si buah hati yang lahir tanpa kasih seorang bapak.
---
Sebuah New Mazda2 hijau meluncur keluar dari sebuah rumah mewah. Seorang laki-laki dengan setelan berdasi duduk di depan kemudi, di sampingnya seorang anak perempuan berseragam putih merah sedang menikmati sepotong roti.
            Hampir sebulan kuhabiskan waktuku; duduk termenung, mengamati gerak-gerik lelaki itu dari seberang jalan. Aku hafal tiap detail kapan dia akan pergi atau pulang, kecuali jika ada kepentingan yang mendadak.
            “Malam ini tak boleh gagal,” kataku menyeringai.
---
            Sudah tengah malam, jalanan mulai nampak lengang. Menunggu laki-laki itu pulang sungguh amat melelahkan. 
            “Itu dia.” Aku hafal desingan suara mesin mobilnya. Aku mulai berjalan perlahan. Menyeberang.
            Tiiinnn!! Suara klakson panjang memecah keheningan sesaat sebelum mobil itu menghantam tiang listrik dengan keras.
            “Meong,” kataku sambil melompat ke bagian kap mobil yang ringsek akibat benturan; serta penuh dengan serpihan kaca dan cipratan darah. Pilihan terlahir kembali sebagai kucing hitam ini ternyata tak sia-sia. Dendamku lunas.

(FF 300 kata, dengan tema "REINKARNASI")



 Kediri, 23 Desember 2014



Tuesday, December 16, 2014

JUDI



“Ayo, pasang lagi taruhanmu! Waktu masih panjang, kita akan main sampai pagi.”

Lima buah kartu remi tertelungkup di lempar oleh bandar di depanku. Tujuh orang lelaki paruh baya duduk melingkar di atas sebuah karpet, salah satunya aku. Setiap hari, beginilah cara kami bersenang-senang menghabiskan separuh malam. 

Sementara anak – istri kami terlelap di rumah, kami sibuk memasang taruhan sambil menenggak beberapa botol minuman oplosan. Tak hanya untuk sekedar membunuh bosan, namun sudah menjadi kebiasaan. Alih-alih ronda malam, Poskamling kami jadikan lapak perjudian.

Putaran ke delapan, aku mulai gelisah. Jantungku berdetak tak karuan. Mungkin malam ini aku sedang dirundung kesialan, belasan kartu masih ada dalam genggaman.

Kini Sang bandar sudah bersiap dengan sepucuk senapan. Inilah permainan yang kami biasa lakukan, nyawa sebagai taruhan. Maka seringkali akan kau dengar dalam berita, korban-korban berjatuhan dalam pesta minuman orang-orang pinggir kota. Sekali lagi kujelaskan, jika aku mati nanti; bukan karena oplosan, tapi kalah taruhan.

“Doorrr!!” 
Sebuah peluru melesat menembus kepalaku. Aku meregang sekali lagi. Ini masih permainan pembukaan, nyawaku tinggal satu. Semua tertawa terutama Sang bandar, nyawanya masih sembilan.

(FF 174 kata)
NB: dikembangkan dari fiksimini @rantingmu JUDI- Baru permainan pembukaan, nyawaku tinggal satu.


Kediri, 16 Desember 2014

© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Secangkir Kopi di Sebuah Senja Berangin



Sore ini kupersiapkan sebuah pesta kecil untuk para sahabat
Di sebuah beranda kecil di depan rumah...
Bukan pesta perayaan mewah
hanya sebuah jamuan hangat
sebagai ucapan terimakasih yang teramat sangat...

Terimakasih untukmu yang kusebut secangkir kopi,
Yang selalu setia menjadi teman menjelang pagi,
menyambut senja atau bahkan menikmati gigilnya angin malam
Meski mengenalmu belum terlalu lama, namun hangat dan nikmatnya tiap tegukan telah menjadikanmu candu dalam tiap detik waktuku
Hadirmu adalah semangat yang membuat segala  asa menjadi rasa bahagia yang sebelumnya telah tertunda.
Menyeduhmu, menjadikanku mengerti apa arti hidup ini
Akan selalu ada rasa pahit dan asam dalam hidup, tak selalu manis seperti apa yang dibayangkan oleh setiap manusia.
Namun kau yang kopi; menjadikannya paduan yang sempurna hingga hidup ini menjadi banyak rasa.
Teruntukmu yang kuberi nama Senja
Bagaimana kabarmu?
Lelahkah menunggu warna jingga pertanda lelah siap diistirahatkan tuk sementara?
Mengagumimu juga belum lama,
Hingga saat itu tiba, kau menyajikan sebuah rona sebagai pelipur lara
Membuatku terpana akan ciptaan Tuhan yang luar biasa
Bagaimana tidak,
kau ajarkan sebuah kesabaran di saat hari berjalan terasa lama
takkan ada yang sia-sia katamu jika mau menunggu
kau buktikan dengan indah warna langitmu
meski kadang kala orang menganggapmu biasa saja
untukku ini luar biasa
meski cahyamu temaram namun indamu ampuh memudarkan rasa penat yang kian menyiksa
Terimakasih telah menjadikan hidup lebih berwarna dari sudut pandang yang berbeda-beda
Terimakasih telah megajarkan padaku arti mengucap syukur dalam setiap hal dan membuatku mengerti berartinya hidup ini..
Terlebih lagi terimakasih tak kenal lelah
setia menunggu sepulangku lelah entah dari mana...

Hai,, kau yang kusebut angin..
Terimakasih untukmu yang telah hadir dalam kehidupanku.
Mungkin terlalu singkat waktu untuk menjadikanmu sahabat,
namun tak apa sudah sepantasnya karena denganmu kurasa nyaman.
Terimakasih telah kau hembuskan angin segar dalam hidupku,
hingga panas teriknya kehidupan terasa lebih sejuk dari sebelumnya.
Terimakasih juga telah kau ajarkan arti sebuah kehangatan.
Saat kau hembuskan angin malam yang dinginnya begitu menusuk rongga dada,
hingga kesepian dan keheningan turut membuatmu jadi gigil yang tak terelakkan.
Dari sana aku mencari sebuah hangat pelukan untukku bertahan.
Meski hadirmu tak kasat oleh mata,namun begitu terasa.
Itu yang kau ajarkan padaku tentang keikhlasan sebuah cinta,
Tak perlu nampak yang penting bisa menyentuh dasar palung jiwa...

Terimakasih untuk kalian para sahabat tercinta..
Angin, kopi dan senja..
Aku harap hadirnya kalian tak hanya sementara
Namun abadi hingga selamanya..
Terimakasih atas segala pelajaran berharga,
Yang hanya bisa kubalas dengan kata yang tak seberapa,
serta rapalan doa yang kupanjatkan pada yang Kuasa.
Salam hangat dan mesra,
dariku yang berharapi jadi melodi.
Sebuah lantunan nada yang tak pernah lepas dari telinga.
Berharap ada dalam hidup kalian, menjadi kawan dalam segala rasa.
Menjadi alunan pagi yang memberi semangat di hati
Menjadi alunan siang yang membuat hati tetap girang hingga malam menjelang
Dan menjadi alunan malam
Sebagai penghantar lelap yang lembut menenangkan jiwa-jiwa yang mulai padam.


Malang, 19 September 2014
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Tuesday, December 09, 2014

Hilangnya Bapak



Malam itu di Kampungku listrik sedang padam, mungkin akibat hujan deras yang samapi saat ini masih belum juga reda.

 “Bu, Bapak pergi dulu.”

“Hati-hati ya Pak, cepat kembali,” timpal Ibu.

Karena penasaran, segera kuhampiri Ibu di ruang tamu. 

“Bapak kemana Bu malam-malam begini?”

“Ada urusan sebentar,” jawabnya sambil menyalakan sebuah lilin panjang di atas meja. “Kamu tidur lagi sana, besok bangun pagi.”

Hingga tengah malam aku tak kunjung tertidur. Sementara itu kulihat Ibu di ruang tamu nampak tertidur pulas di samping lilin yang masih menyala. Mungkin Ibu lelah menunggu Bapak yang tak kunjung datang. Segera saja kutiup lilin itu, karena listrik juga sudah tak lagi padam.

Sejak saat itu Bapak tak pernah pulang. Namun tiap malam tepat di depan rumah selalu terdengar lolongan anjing liar.
.




Kediri, 9 Desember 2014

© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved