Saturday, October 22, 2016

MEJA PENANTIAN

(Shot by : S.A. Ozora)

Sore itu,
Arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirimu, menderitkan detik yang mendengungkan sepasang telingamu.
Alunan detiknya terasa melambat, mirip detak jantung orang sekarat.

Sepasang matamu cemas melucuti segala sudut-sudut ruangan. Mencoba mengisi kosongnya tatapan dengan tulisan menu-menu pada buku, pada sekelompok remaja yang saling mengumbar canda hingga umpatan, juga sepasang kekasih yang saling bertukar tatap malu-malu.

Sepertinya sore itu kau dapat tugas baru. Persekongkolan jarak dan waktu yang tak kunjung menghadiahimu sebuah temu. Namun kau percaya dan akan menunggu. Sebab pada dadamu;
keyakinan tentang harapan, adalah sekeras-kerasnya batu kali.

Kau pikir segelas es lemon tea, cukup untuk membunuh gelisahmu. Kau pikir di meja ini akan ada kejutan kecil, perhelatan, atau perdebatan . Sengal-sengal napas yang jadi kelegaan. Bahkan segala resah yang bermetafora jadi haru. Kau pikir meja ini akan jadi panggung bagi sepasang perasaan yang haus pertanyaan. Kau pikir meja ini akan menyajikan cerita-cerita perjalanan panjang, romansa-romansa bagi ingatan yang kelaparan, juga meletakkan beban bagi punggung-punggung yang ingin diringankan.

Namun sore ini, kau harus kembali jadi siswa baru. Jarak dan waktu bersekongkol untuk mengguruimu. Dan kau dapat tugas baru. Mereka menyebutnya rindu. Dan kau akan menunggu...
Keyakinanmu ialah batu. Kau akan menunggu...
Hingga kau tahu; waktu adalah lumut dan jarak adalah hujan yang perlahan coba melapukkanmu. Hingga kau tahu;  kecewa bisa datang seperti seorang kuli; menjadikanmu keping kerikil  setelah menghantammu berkali-kali
Kau akan menunggu?


(Kediri, 22 Oktober 2016)

MERAYAKAN KESALAHAN

(Photo by : Unknown)

Perbincangan kita di atas ranjang sore itu, menuntun kata-kata mengulur waktu.
Mencari cara agar bisa meleburkan suasana gagu, sembari menunggu lidah kita melentur dan membiarkan kata menyublim. Mengubahnya menjadi bahasa tubuh yang paling intim.

Aku senang berlama-lama menatap matamu, keduanya jujur.
Mata nanar yang menyimpan luka dalam -  sedang berusaha kaukubur atau mungkin minta dihibur.
Aku memuji bibirmu; bibir mungil mirip kepunyaan kekasih impian yang telah pergi atau kalah kemudian memilih sembunyi.

Sore itu aku tak ubahnya anak kecil yang rindu menyusu pada puting ibunya.
Sebab katamu; tak ada yang lebih tabah dari payudara. Terkekang kutang-kutang ketat dan bau keringat. Terbatas tak bebas demi tuntutan tak membuka aurat.

Dadamu yang ranum menjelma mata air yang lapang. Ia tahu bagaimana cara melepas dahaga pria-pria yang haus kenikmatan, atau kebahagiaan pun kesepian sepertiku.
Ia tak pernah memilih rupa juga perawakan pria-pria yang akan minum dari mata airnya; bukan air matanya. Asal esok harinya ia mampu membawa sekantong harapan, juga obat untuk penyakit yang belum sembuh atau barangkali penyakit yang segera kambuh.

Kini aku tahu, Tuhan menciptakan beberapa Surga di Dunia. Yang pertama tepat di bawah kaki ibuku. Sedang yang kedua tersembunyi di sela kedua pahamu.
Liang surga; hanyalah tempat singgah. Taman hiburan untuk mereka yang kau sebut pelanggan. Atau mungkin untukku sebuah kesalahan. Bukan! Aku yang salah. Membeli kebahagiaan sebagai kepura-puraan, atas kemenangan dari segala kesedihan juga kesepian.

Aku senang berlama-lama menatap liang surgamu. Ia jujur seperti matamu. Terkadang ia basah memelihara gelisah, juga sembab tanpa sebab. Aku takut berlama-lama menatapnya. Ia terlalu jujur. Sebab di sana aku bercermin sebagai dosa.

Katamu, “Hati-hati dengan perasaan, jangan terlalu diperlibatkan!” Sebab ia lebih jahat dari obat atau kretek yang membuatmu ketagihan.


(Kediri, 17 Mei 2016)
Nb : Puisi ini didasari oleh kisah nyata dari cerita seorang pekerja seks komersial. Puisi ini diciptakan atas dasar tantangan dari seorang teman di sebuah komunitas menulis, yang mengunggah gambar ilustrasi di atas dan kemudian mengimajinasikannya ke sebuah puisi dengan tema Naked Poem.




BAYANG

(Photo by: S.A. Ozora)

Aku ingin jadi air mata.
Selayaknya kau; yang mata.
Menjatuhkannya sebagai ungkapan duka maupun haru bahagia...

Aku ingin jadi tawa.
Selayaknya kau; yang mulut,
Menyeruakkan suka atau bentuk hina dan ego yang tersulut, berangsur surut...

Aku ingin jadi senyum.
Selayaknya kau; yang bibir,
Menyunggingkannya sebagai rasa syukur dalam hidup, yang kausebut takdir...

Aku ingin jadi pelukan.
Selayaknya kau; yang lengan,
Mendekapnya sebagai satu kehangatan hingga tak mampu lagi diutarakan...

Aku ingin jadi suara.
Selayaknya kau; yang telinga,
Gemar menggubah sunyi menjadi bunyi-bunyi, atau bunyi-bunyi yang jadi nyanyi...

Dan yang paling sederhana,
Aku ingin jadi aku

Yang lebih gamang...
Aku ingin jadi bayang
Di mana meski remang akan tetap ada kita, yang tak hilang.


Meski malam, kecuali padam. 




 (Kediri, 18 Oktober 2016)

© 2016 by W.U. Widiarsa. All rights reserved


Tuesday, May 05, 2015

Sepucuk Surat Terima Kasih


Untuk kalian yang aku sayangi..

Entahlah aku tak punya kata yang menurutku cukup layak untuk menyapa kalian yang akan membaca tulisan ini. Tentunya mungkin pertama kali yang ingin aku ucapkan adalah terima kasih, karena sudah bersedia sejenak meluangkan waktu untuk sekadar membaca tulisan ini

Sehari yang lalu, di bulan Mei yang keempat usiaku genap 22 tahun. Sebagai manusia tentulah umur sekian masih jalan yang panjang untuk menapaki jalan kehidupan, yang kian hari pasti punya pencobaan tersendiri. Entah apa yang seharusnya dapat aku rasakan di hari yang menurut kebanyakan orang merupakan hari berbahagia atau hari penuh ucapan syukur. Bahagia? Seharusnya. Bukan berarti aku tak merasakan kebahagian atau sukacita, jauh lebih dalam. Ada haru di sana. Meski aku akui ada sedikit perasaan ganjil yang berusaha aku genapkan.

 Dengan tulisan ini aku berharap ucapan terima kasihku bisa tersampaikan ke semua orang yang telah mendoakan. 

Yang pertama untuk teman-teman semua yang sudah mendoakan. Terimakasih, doa yang sama pula untuk kalian. 

Yang kedua teruntuk keluarga besar Monday Flash Fiction. Mungkin aku ialah seorang bocah yatim piatu yang kehilangan rumah beserta keluarga dan seluruh cinta. Kemudian di sini kalian tak hanya menerimaku menjadi sebatas teman, tapi juga keluarga.  Terima kasih kalian yang ada untuk selalu menguatkan, untuk selalu mendukung, untuk menghadirkan sebuah suasana sukacita, dan kerap kali melepaskanku dari ketersendirian. Terima kasih, meski belum lama bergabung tapi di sini aku merasa nyaman. Terima kasih kalian baik yang mendoakan, mengabadikan namaku dalam sebuah cerita, menyanyikan sebuah lagu untukku, atau lainnya. Sungguh sebuah kado yang cukup untuk meluluhkan perasaanku, membuatku larut dalam keterharuan. Tak ada yang bisa aku ucapkan selain ribuan terima kasih. Kalian menyadarkanku satu hal; sekecil apapun ketulusan yang diberikan, akan berarti besar dan berharga bagi yang menerima. 

Yang ketiga untuk teman-teman coffebar. Terima kasih atas doa-doa yang kalian berikan. Meski sejujurnya aku berharap lebih, dalam artian kita bisa menjadi utuh kembali seperti dulu. Tapi segala yang nyata mungkin memang akan lebih dari yang maya.

Yang terakhir, entah kau akan membacanya atau tidak. Terima kasih untukmu yang sekadar datang tiba-tiba, seperti nafas yang dalam berembus sekali kemudian hilang lagi. Terima kasih meski doamu melantun di dentang paling akhir, namun setidaknya cukup untuk membuatku melepas senyum. Setidaknya aku tahu jauh di lubuk hatimu paling dalam masih ada aku. Dan sekali lagi kau kembali, dan aku masih belum punya alasan tuk membenci.




Salam dariku, yang berbahagia...












Wednesday, April 15, 2015

#FFRabu ; CANTIK ITU BEBAS BULU


         Mungkin  benar kata rekan seprofesiku; parasku kurang cantik, tubuhku kurang menggairahkan, atau belum berpengalaman karena masih seminggu. Aku tak punya pilihan lain, hanya dengan cara ini aku bisa mengenyangkan perutku juga hasrat birahiku.

        “Dapat berapa pelanggan semalam?”

        “Nggak ada.”

        “Gimana Om-om itu bakal tertarik, kalau kaki-kakimu berbulu lebat seperti itu? Ini coba pake! Cantik itu bebas bulu”  katanya dengan nada ala iklan perontok bulu di TV.

         Aku terdiam menatap botol yang ada dalam genggamanku. Bagaimana mungkin aku akan terlihat cantik dengan perontok bulu ini. Cantik itu perihal paras, bukan kaki.

        “Bambang, jangan cuma dilihat. Coba oleskan!” Teriakannya, seketika membuyarkan lamunanku.

Wednesday, February 18, 2015

#FFRABU ~ SEIKAT MAWAR DAN ANGPAU MERAH UNTUK YESSI




Pukul 17.00. 14 Februari, hari Valentine. Sepulang kantor aku tak langsung pulang. Aku akan melewatkan malam ini dengan kekasihku: Yessi.

“Ini mawar untukmu.” Aku meraih pundaknya, kemudian mengecup keningnya.

Film animasi Big Hero 6 milik Disney jadi pilihannya. Ia begitu menikmatinya.

            Pukul 19.20. Kami tak langsung pulang. Aku mengajaknya ke Hotel yang tak jauh dari movie box ini. Kami bercinta. 

            “Ini angpao untukmu, Sayang.”

            “Tapi Yessi nggak ngrayain Imlek. Imlek juga masih lama.”

            “Simpan saja, sekalian buat beli cokelat.” Aku meraih pundaknya kemudian mengecup bibirnya. Lagi.

            Meski Yessi masih berusia 16 tahun, yang tak lain teman sekelas anakku. Aku menikmatinya.







Kediri, 18 Februari 2014

Wednesday, February 04, 2015

(#FFRABU) KOPI UNTUK BAPAK



Bapak orang yang keras dan ringan tangan. Apapun yang dirasa tidak benar, kerap kali membekaskan memar di wajah Ibu dan tak jarang juga punggungku. Kebiasaan Bapak minum kopi, mirip cara minum obat  orang sakit: 3 kali sehari. Tidak boleh telat. Bapak bisa murka.

“Aja lali nggawe kopi kanggo Bapak ya Nduk, ben slamet.”1 Pesan Ibu padaku, sebelum pergi.

Dua hari lalu Ibu meninggal. Aku anak semata wayang. Mau tak mau aku harus menggantikan posisi Ibu mengurus dapur. Memasak atau sekadar membuatkan kopi untuk Bapak. 

 “Pak, menika kopinipun. Monggo dipun unjuk.”2 kataku gemetar, sambil menaruh kopi itu di sudut kamar Bapak.



NB : 
Jumlah 100 kata, belum termasuk judul.
1. “Jangan lupa membuat kopi untuk Bapak ya Nduk (sebutan untuk anak perempuan di Jawa), agar selamat.”
2. “Pak, ini kopinya. Silakan diminum.”


Kediri, 4 Februari 2015