Sunday, May 25, 2014

Balada Mair

Di sana ia berdiri, tegap, enggan tuk beranjak pergi
Tatap! Ia serupa benteng kokoh tak tertandingi
Ia takkan pernah sekali pun terjaga
Matanya awas, mengintai semua yang bernyawa
Sorot matanya tajam merah nyala
Begitu lekat seraya menghina
“Datang, lawanlah! Jika bisa.” katanya

Wangi-wangi mawar dan melati begitu ramah tuk cumbui
Nyala lilin-lilin kecil dan kepulan asap dupa membasuh diri
Ia selalu sembunyi, berselimut dalam tabir binar-binar dunia
Perihal kedatangannya,
Siapa sangka? Siapa mengerti?
Bahkan kadang ada yang tak peduli,
Justru menghampiri, justru mendekati

Dalam sekejap mata ia ada
Dalam tiap hembus nafas ia menghantui
Dalam gelapnya bayang ia tertawa sekeras ia bisa
Perihal waktu, cepat atau lambat
Perihal harta, miskin atau kaya
Perihal pria, wanita, duka atau pun suka
Ia takkan pernah sekalipun peduli
“Lewati aku jika kau mampu!” tantangnya

Dijulurkannya jemari-jemari lembutnya,
Menyambut setiap kedatangan yang sudah lama ia nanti
Menjabat hangat layaknya kawan akrab yang lama tak bersua
Senyum liciknya begitu puas tuk menggerayangi
Bak fatamorgana dekapannya menggoda tuk dinikmati

Mengapa harus ada segumpal tanah merah yang ditaburi?
Apa kelopak bunga yang cantik nan wangi sudah kehilangan jati diri?
Mengapa denyut nadi harus terhenti?
Apa mereka sudah menguap jadi derai air mata di luar sana?
Apa air mata kini sudah tak berdaya lagi?

Kini air mata tak punya arti lagi
Air mata bukan lagi layaknya kisah di Negeri mimpi.
Yang pergi takkan bisa kembali
Yang mati tak hidup lagi
Yang hidup tetap saja tak kekal abadi
Ia hanya jadi saksi, meratapi setiap kejadian yang tak pernah diingini
Ia hanya jadi makna luka, saat lidah tak lagi mampu berkata-kata

Kepada mati yang tak pernah kumengerti
Kepada mati yang tak pernah kuingini
Aku adalah nafas yang dipinjami

Aku adalah yang berasal dari tanah dan harus kembali


Malang, 17 Maret 2014


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

Saturday, May 17, 2014

Menanti Senja di Sepasang Mata yang Menua

Alkisah ini adalah puisi cinta yang biasa
Tentang sebuah rasa yang kupuja
Selayaknya mantra untuk menuai bahagia
Semua sama, tak ada yang beda,
pun dengan aksara yang kukumpulkan dengan  warna-warni cinta di dalamnya
Kata yang kurangkai dengan romansa  rindu ingin bersua

Tangkaplah warna jingga di mataku hai Pujangga
Bukankah di senja itu yang kau namai “kita” ?
Lewatkan sepasang matamu itu di tikungan bibirku
Bukankah senyum itu yang pernah cumbui tiap sudut anganmu?
Tapi kala mentari menyingsing
Kala langit mulai merias diri, hingga tubuhku tak lagi tegap berdiri
Adakah kau kembali untuk kutemui?

Akulah sang empunya cerita cinta
Perempuan yang dulu selalu kau puja tiada dua
Perempuan yang menanti segumpal rasa hingga renta
Perempuan yang kini tinggal menggenggam geram putus asa
Sungguh, akulah dia...
Perempuan yang paling setia
Akulah perempuan yang kini memilih menyimpan seribu bahasa tanpa suatu nada
Ribuan bahkan jutaan aksara kubungkam dalam rahasia
Sedang kecewaku berkobar menyala, menjilat semua rasa yang kurasa sia-sia
Sungguh rindu yang percuma
Sungguh cerita cinta yang takkan pernah sempurna

Tanyakan langit di gelap malam!
Adakah perihal lain, yang lebih indah dari kesetiaan rembulan dan bintang-bintang,
yang berbinar tanpa penyesalan?
Tanyakan embun di pagi buta!
Adakah perihal lain, yang lebih sempurna dari kepercayaan akan mentari,
yang merekah dari ufuk peraduannya?
Tanyakan di lubuk hatimu yang paling dalam!
Adakah perihal lain, yang lebih setia dan begitu percaya akan janji kedatanganmu, selain air mataku yang bermuara pada penantian yang tak pernah berujung sua.


Kediri, 15 Maret 2014


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved