Di
sana ia berdiri, tegap, enggan tuk beranjak pergi
Tatap!
Ia serupa benteng kokoh tak tertandingi
Ia
takkan pernah sekali pun terjaga
Matanya
awas, mengintai semua yang bernyawa
Sorot
matanya tajam merah nyala
Begitu
lekat seraya menghina
“Datang,
lawanlah! Jika bisa.” katanya
Wangi-wangi
mawar dan melati begitu ramah tuk cumbui
Nyala
lilin-lilin kecil dan kepulan asap dupa membasuh diri
Ia
selalu sembunyi, berselimut dalam tabir binar-binar dunia
Perihal
kedatangannya,
Siapa
sangka? Siapa mengerti?
Bahkan
kadang ada yang tak peduli,
Justru
menghampiri, justru mendekati
Dalam
sekejap mata ia ada
Dalam
tiap hembus nafas ia menghantui
Dalam
gelapnya bayang ia tertawa sekeras ia bisa
Perihal
waktu, cepat atau lambat
Perihal
harta, miskin atau kaya
Perihal
pria, wanita, duka atau pun suka
Ia
takkan pernah sekalipun peduli
“Lewati
aku jika kau mampu!” tantangnya
Dijulurkannya
jemari-jemari lembutnya,
Menyambut
setiap kedatangan yang sudah lama ia nanti
Menjabat
hangat layaknya kawan akrab yang lama tak bersua
Senyum
liciknya begitu puas tuk menggerayangi
Bak
fatamorgana dekapannya menggoda tuk dinikmati
Mengapa
harus ada segumpal tanah merah yang ditaburi?
Apa
kelopak bunga yang cantik nan wangi sudah kehilangan jati diri?
Mengapa
denyut nadi harus terhenti?
Apa
mereka sudah menguap jadi derai air mata di luar sana?
Apa
air mata kini sudah tak berdaya lagi?
Kini
air mata tak punya arti lagi
Air
mata bukan lagi layaknya kisah di Negeri mimpi.
Yang
pergi takkan bisa kembali
Yang
mati tak hidup lagi
Yang
hidup tetap saja tak kekal abadi
Ia
hanya jadi saksi, meratapi setiap kejadian yang tak pernah diingini
Ia
hanya jadi makna luka, saat lidah tak lagi mampu berkata-kata
Kepada
mati yang tak pernah kumengerti
Kepada
mati yang tak pernah kuingini
Aku
adalah nafas yang dipinjami
Aku
adalah yang berasal dari tanah dan harus kembali
Malang, 17 Maret 2014
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved
0 comments:
Post a Comment