Banyak
cara untuk bersenang-senang dalam bersahabat. Kita hanya perlu mencari hal-hal
yang kita anggap paling layak untuk kita mainkan bersama-sama. Aku punya cara
sendiri untuk menikmatinya dengan sahabatku. Kau ingin tahu? Baiklah kini akan
kuceritakan padamu satu permainan yang sering kulakukan bersama sahabatku; Reno
sebelas tahun lalu.
Kami
tinggal di pinggiran Kota, jauh dari hingar kendaraan yang lalu-lalang tanpa
kenal waktu. Butuh dua puluh langkah ke timur dari rumahku, untuk sampai di
rumah Reno. Usia kami masih 13 tahun waktu itu. Kami adalah sahabat akrab, baik
di sekolah maupun di rumah. Di kampung, kami terlihat seperti saudara kandung.
Bagaimana tidak, kami bak pepatah dimana ada gula di situ pasti ada semut. Tak
jarang kami juga tidur bersama, entah itu di rumahnya atau di rumahku. Orang
tuaku tak pernah keberatan ketika Reno sering menginap di rumahku, begitu pun
sebaliknya. Aku adalah anak tunggal, sedangkan Reno memiliki seorang kakak
perempuan yang waktu itu sedang menyelesaikan bangku perkuliahannya di Kota.
Bisa dibilang kami senasib, kami saling membutuhkan satu sama lain. Kami akan
saling merindukan dan kesepian kala liburan Hari Raya Idul Fitri menjemput,
karena aku harus ikut Bapak dan Ibu mengunjungi Nenek yang ada di dalam pelosok
Desa.
Seperti
biasanya setelah pelajaran sekolah usai; pukul 12.45, kami kayuh sepeda kami.
Ya, kami sering melakukannya, kami beradu cepat sampai di depan rumahku. Kau
pasti sedang bertanya-tanya, apa temanku hanya Reno seorang? Tidak, tentu kau
tahu. Tapi harus kukatakan padamu, aku adalah anak yang pemilih. Tak sembarang
anak bisa bermain denganku, jika aku merasa tak nyaman maka aku akan menjauh
pergi. Kau pasti tahu, kau pasti pernah melihat bocah-bocah pinggir Kota, dengan
pakaian-pakain apa adanya, dengan wajah-wajah kumal akibat seharian bermain di
ganasnya terik mentari siang. Belum lagi mulut-mulut mereka yang menggonggong
liar tanpa aturan, itu yang membuatku malas bergaul dengan mereka. Meski aku
juga anak pinggiran, tapi aku dididik dengan keras oleh Bapak dan Ibu yang
mengutamakan sopan santun dan tata krama. Berbeda lagi dengan Reno. Reno adalah
anak orang berada, namun kedua orang tuanya mengajarkannya kesederhanaan.
Itulah alasan aku memilih Reno sebagai sahabatku, dan orang tua kami pun juga tidak
keberatan kami bersahabat.
Sore
itu sehabis kami mengerjakan PR bersama-sama di rumah Reno, seperti biasanya
kami bermain mencari harta karun. Reno yang pertama kali memiliki ide permainan
ini. Kali ini giliranku yang harus mengisi aqua-aqua bekas dengan sepucuk
kertas, yang berisikan sebuah petunjuk yang bisa berupa clue atau penunjuk arah, dimana harta karun itu berada. Pertama-tama aku harus
menyembunyikan harta karun - kotak kayu, yang di dalamnya terisi penuh
oleh kelereng berwarna-warni. Sebuah tumpukan kardus-kardus bekas yang ada di
belakang rumahku jatuh sebagai pilihanku. Sementara itu Reno harus berdiam diri
di dalam kamarnya, sembari menungguku selesai menempatkan lima aqua sesuai
dengan posisi penunjuk arah yang kutulis sebelumnya.
“Sudah,”
teriakku dari luar rumah Reno.
“Lama
banget nyembunyiin gitu aja,” sahutnya sambil berjalan menghampiriku.
“Biar
kamu nggak dapet harta karunnya,” jawabku sambil terkekeh.
“Pertama-tama
kamu harus jalan ke belakang rumahmu, cari satu pohon yang daunnya sering
dibuat bungkus makanan atau beberapa jajanan pasar dan buahnya adalah makanan
kesukaan saudaramu. Di sana kutaruh botol aqua pertama,” aku tertawa
terbahak-bahak, sejadi-jadinya mendengar Reno menggerutu sendiri karena
ledekanku.
Sudah
hampir satu jam, aku menunggu di teras rumahnya. Reno masih belum nampak juga
batang hidungnya. Aku mulai cemas. Aku hanya takut kalau-kalau aku salah, aku
berpikir apa dia benar-benar marah karena aku meledek bahwa monyet adalah
saudaranya. Tak mungkin. Kau tahu, Reno adalah anak yang paling baik dan tidak pernah
marah ; terutama padaku. Reno sudah serupa kakak untukku, dia selalu berusaha
melindungiku, mengajariku, memperhatikanku dan tak pernah jauh dariku.
Kuputuskan menyusulnya ke kebun belakang rumah, memastikan bahwa dia masih ada
disana – mencari botol-botol aqua yang kusembunyikan.
Betul
seperti dugaanku, dia takkan marah dan meninggalkanku. Reno masih di sana,
namun beda dengan harapanku. Keringat-keringat dingin sebesar biji jagung mulai
jatuh dari ubun-ubunku. Degup jantungku yang tadinya bertempo lambat, harus berubah menjadi detak yang tak karuan –
tak berirama. Dalam dadaku serasa ada sekumpulan bocah yang tadinya ingin
menyalakan api unggun, namun kini jadi kobaran api yang menyambar-nyambar, dan
kepulan asapnya – menyesakkan dada. Mataku nanar. Entahlah, aku tak mengerti
perasaan apa ini. Sebelumnya tak pernah seperti ini. Aku melihatnya bersama
anak lain, teman kami satu kelas juga di Sekolah. Kau tahu, aku tak suka anak
itu – Buyung. Dia yang sering mengejek ibuku mandul, tak bisa melahirkan anak
lagi. Dia yang juga sering menggangguku di kelas; menyembunyikan buku PRku
misalnya, melempariku dengan kertas atau penghapus karet, kadang juga mengempesi ban
sepedaku. Aku membencinya.
Aku
melihat Reno dengan lincahnya sedang memanjat pohon mahoni. Dia sedang
mengambil layangan milik Buyung yang tersangkut di atas sana. Dengan badannya
yang tambun, tentu saja Buyung takkan mampu memanjat pohon mahoni yang cukup
besar dan tinggi. Aku benci melihat adegan itu. Permainan kami harus terhenti
hanya karena Reno harus membantu Buyung mengambil layangannya. Bukankah
seharusnya Reno tahu, untuk apa menolong Buyung – anak yang selama ini sering
menyakiti perasaanku.
Kuceritakan
padamu, semenjak kejadian itu, aku lebih memilih untuk diam dan menyendiri.
Perlahan-lahan aku mulai menjauh dari Reno. Kau tahu apa yang terjadi? Reno
lebih akrab dengan Buyung sekarang.
Entahlah, itu mungkin perasaanku saja; atau karena salahku sendiri
menjauhinya. Tiap kali aku melihat dari balik jendela, mereka berdua nampak bersuka
ria, tertawa riang sambil menerbangkan layang-layang. Apa Reno bosan bermain denganku? Apa Reno bosan bermain menemukan harta
karun lagi? Aku hanya merasakan, ada sebongkah batu besar yang dilempar
keras tepat di dadaku. Sakit. Aku hanya bisa membiarkan air mataku menggenang
di sudut-sudut mataku, ia tak mau jatuh. Aku tak paham, perasaan apa ini.
Aku
menghela napas panjang.
Kutuliskan
cerita ini untukmu. Dari sebuah kamar yang sempit dan usang, di pusat Kota.
Sore itu, tepat satu minggu setelah permainan mencari harta karun yang tak
selesai. Aku menunggu Reno sepulang sekolah, di belakang rumahku, di samping
tumpukan kardus-kardus tempat dimana aku menyembunyikan kotak kayu yang terisi
penuh oleh kelereng warna-warni. Kami berjanji akan bertemu di sini. Sembari
menunggunya, aku menjalankan perintah Ibu; menyapu kebun belakang yang penuh
daun-daun dan ranting kering, kemudian membakarnya bersama sampah-sampah kering
lainnya.
“Ini
harta karunnya. Kau gagal,” kusodorkan kotak kayu itu.
“Maaf.
Waktu itu bukannya aku lupa, tapi adzan maghrib sudah berkumandang. Aku
mencarimu, tapi kau tak ada,” jawabnya dengan suara penyesalan.
“Sudahlah
lupakan. Selama satu minggu ini kamu kemana aja? Kamu lupa denganku? Kamu malah
asik bermain layangan dengan Buyung. Kamu bosan bermain mencari harta karun?”
aku memberondongnya dengan beberapa pertanyaan.
“Aku
mencarimu, tapi ibumu selalu bilang jika tidak sedang tidur, ya sedang tidak
enak badan.”
“Aku
ingat, kamu dulu pernah berjanji takkan meninggalkanku. Kamu janji kita akan
selalu bersama. Kamu tahu, aku nyaman di sampingmu. Aku tak ingin kehilanganmu.
Aku benci melihatmu bersama Buyung. Aku ingin kamu hanya untuk aku. ” teriakku
parau, menahan agar air mataku yang pemalu tak berlinangan.
Aku
mendaratkan ciuman tepat di pipinya, sembari melingkarkan kedua tanganku di
balik punggungnya.
“Damar!
Apa yang kamu lakukan?” Reno mendorongku hingga jatuh.
“Kamu
masih waras?”
Kurasakan
sakit yang begitu dalam sore itu. Kuputuskan mulai saat itu, aku benar-benar
membenci Reno. Aku tak ingin melihatnya lagi. Aku membencinya.
Masih
dari sebuah rumah pusat rehabilitasi, kutuliskan cerita ini untukmu. Aku
menuliskannya untukmu, agar kau tahu kisah yang sebenarnya. Kisah yang sebenarnya
ingin kusimpan sendiri, hanya saja aku tak ingin kau tahu kisahku ini dari
koran-koran yang ditulis para kuli tinta. Mereka yang membesar-besarkan
masalahnya, dengan sengaja mengurangi detail-detail tiap ceritanya, atau
seakan-akan mereka tahu semua kejadiannya. Seperti sebelas tahun lalu; di
beberapa koran - ceritaku dimuat di halaman depan,
diberi judul yang menggemparkan, dicetak dengan huruf-huruf tebal. Tentu kau
pun sudah membacanya bukan; “Seorang Bocah Tega Membakar Sahabatnya Sendiri”
atau “Karena Cemburu Seorang Bocah Bakar Sahabatnya”.
#OWOPwc
@oneweekonepaper
Keren brader :)
ReplyDeleteMakasih bang :D
ReplyDelete