Saturday, May 17, 2014

Menanti Senja di Sepasang Mata yang Menua

Alkisah ini adalah puisi cinta yang biasa
Tentang sebuah rasa yang kupuja
Selayaknya mantra untuk menuai bahagia
Semua sama, tak ada yang beda,
pun dengan aksara yang kukumpulkan dengan  warna-warni cinta di dalamnya
Kata yang kurangkai dengan romansa  rindu ingin bersua

Tangkaplah warna jingga di mataku hai Pujangga
Bukankah di senja itu yang kau namai “kita” ?
Lewatkan sepasang matamu itu di tikungan bibirku
Bukankah senyum itu yang pernah cumbui tiap sudut anganmu?
Tapi kala mentari menyingsing
Kala langit mulai merias diri, hingga tubuhku tak lagi tegap berdiri
Adakah kau kembali untuk kutemui?

Akulah sang empunya cerita cinta
Perempuan yang dulu selalu kau puja tiada dua
Perempuan yang menanti segumpal rasa hingga renta
Perempuan yang kini tinggal menggenggam geram putus asa
Sungguh, akulah dia...
Perempuan yang paling setia
Akulah perempuan yang kini memilih menyimpan seribu bahasa tanpa suatu nada
Ribuan bahkan jutaan aksara kubungkam dalam rahasia
Sedang kecewaku berkobar menyala, menjilat semua rasa yang kurasa sia-sia
Sungguh rindu yang percuma
Sungguh cerita cinta yang takkan pernah sempurna

Tanyakan langit di gelap malam!
Adakah perihal lain, yang lebih indah dari kesetiaan rembulan dan bintang-bintang,
yang berbinar tanpa penyesalan?
Tanyakan embun di pagi buta!
Adakah perihal lain, yang lebih sempurna dari kepercayaan akan mentari,
yang merekah dari ufuk peraduannya?
Tanyakan di lubuk hatimu yang paling dalam!
Adakah perihal lain, yang lebih setia dan begitu percaya akan janji kedatanganmu, selain air mataku yang bermuara pada penantian yang tak pernah berujung sua.


Kediri, 15 Maret 2014


© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved

0 comments:

Post a Comment