Alkisah
ini adalah puisi cinta yang biasa
Tentang
sebuah rasa yang kupuja
Selayaknya
mantra untuk menuai bahagia
Semua
sama, tak ada yang beda,
pun
dengan aksara yang kukumpulkan dengan
warna-warni cinta di dalamnya
Kata
yang kurangkai dengan romansa rindu
ingin bersua
Tangkaplah
warna jingga di mataku hai Pujangga
Bukankah
di senja itu yang kau namai “kita” ?
Lewatkan
sepasang matamu itu di tikungan bibirku
Bukankah
senyum itu yang pernah cumbui tiap sudut anganmu?
Tapi
kala mentari menyingsing
Kala
langit mulai merias diri, hingga tubuhku tak lagi tegap berdiri
Adakah
kau kembali untuk kutemui?
Akulah
sang empunya cerita cinta
Perempuan
yang dulu selalu kau puja tiada dua
Perempuan
yang menanti segumpal rasa hingga renta
Perempuan
yang kini tinggal menggenggam geram putus asa
Sungguh,
akulah dia...
Perempuan
yang paling setia
Akulah
perempuan yang kini memilih menyimpan seribu bahasa tanpa suatu nada
Ribuan
bahkan jutaan aksara kubungkam dalam rahasia
Sedang
kecewaku berkobar menyala, menjilat semua rasa yang kurasa sia-sia
Sungguh
rindu yang percuma
Sungguh
cerita cinta yang takkan pernah sempurna
Tanyakan
langit di gelap malam!
Adakah
perihal lain, yang lebih indah dari kesetiaan rembulan dan bintang-bintang,
yang
berbinar tanpa penyesalan?
Tanyakan
embun di pagi buta!
Adakah
perihal lain, yang lebih sempurna dari kepercayaan akan mentari,
yang
merekah dari ufuk peraduannya?
Adakah
perihal lain, yang lebih setia dan begitu percaya akan janji kedatanganmu,
selain air mataku yang bermuara pada penantian yang tak pernah berujung sua.
Kediri, 15 Maret 2014
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved
0 comments:
Post a Comment