Ia bahagia dalam pikirannya. Senyum selalu mampu terurai
lepas dari bibirnya. Sari, wanita yang sudah setahun ini menemani setiap
perjalanan langkah kakinya dan berhasil mengakhiri masa lajang yang ia miliki.
Dion, nampaknya sudah benar-benar mampu meluluh lantahkan benteng kokoh hati
yang Sari miliki. Sari selama ini dikenal sebagai wanita pemilih dalam mencari
pasangan. Bagaimana tidak, Sari adalah seorang model cantik yang namanya sudah
merayap hingga sudut-sudut kota. Sudah banyak deretan laki-laki yang rela
mengantri hanya untuk memilikinya, mulai dari yang masih muda hingga para
tua-tua keladi tak ingin kalah saling bersaing mendapatkannya. Sangat
beruntung, Dion bisa memilikinya. Menurut orang.
Dion sangat mencintai Sari. Sangat. Berbagai macam cara ia
lakukan hanya sebatas ingin mengembangkan satu senyuman di bibir Sari. Apapun
diturutinya. Tak masalah tentunya, Dion seorang konglomerat yang membawahi
beberapa perusahaan ternama di beberapa kota dan belum lama ini Dion telah
berhasil mengembangkan sayapnya dalam bisnis property.
Umurnya juga masih cukup muda, 27 tahun, terpaut lebih tua satu tahun ketimbang
Sari. Wanita mana yang tak mau bersuamikan lelaki muda yang kaya raya, paras
mungkin di urutan kedua. Siapa peduli?
Kecupan hangat dan mesra Sari, mendarat di kening Dion.
“Udah lama Mas nunggunya? Maaf sesi pemotretan hari ini
agak molor.”
“Iya nggak apa-apa. Aku juga baru beberapa menit yang lalu
tiba, terus rebahan sambil nonton tv.”
Kini jari-jari mungil milik Sari berjalan berpindah tempat,
menuju pundak Dion, memijat-mijatnya.
“Mas, kemarin-kemarin kan Mas janji, katanya mau beliin aku
mobil baru. Kapan?”
“Iya, secepatnya. Tunggu kalau kamu udah punya waktu luang.
Ok?”
“Makasih Mas.”
Sari tersenyum bahagia. Bahagia sekali.
“Jangan senang dulu, aku juga punya permintaan.”
Sari terdiam.
“Jangan pernah tinggalkan aku, jangan pernah duakan aku.
Aku terlalu mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu. Apapun yang kau mau akan
kuusahakan terpenuhi, asal kau tetap di sampingku.”
Sari menganngguk tanda ia mengerti. Sari memeluknya erat
sekali, seakan mengucapkan terimakasih sembari mengucapkan janji setianya.
Dion sadar selama ini semua yang ia dapat tidak gratis.
Kebahagiaan, kepedulian, perhatian dan bahkan kasih sayang yang bertahun-tahun
lalu ia dapatkan secara cuma-cuma dari kedua orangtuanya, kini ia harus
membelinya. Baginya ini bukan sebuah masalah, daripada ia tak bisa mendapatkan
setetes pun rasa sayang untuk melegakan jiwa yang dahaga akan jamahan cinta.
Dalam pikirannya, ia terus bergumam tentang perihal cara agar Sari tak akan
meninggalkannya, bagaimana Sari bisa bahagia dan nyaman bersamanya. Dan kadang
Dion pun pernah sesekali berpikir, apakah dulu kedua orangtuanya juga mengalami
ini? Apakah semua orang di luar sana seperti ini? Yang satu memberikan
cinta dengan sepenuh hati, sedang yang satu mencari materi sebagai imbalan
untuk mencintai. Siapa peduli? Sudah lama cinta berjalan seperti ini. Cinta,
mati tanpa materi.
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved
0 comments:
Post a Comment