Monday, January 19, 2015

Pria yang Setia


Aku mengecup keningnya, lembut. Menyibak rambutnya, penuh rasa cinta. Matanya masih memejam. Begitu dalam. Mungkin ia masih enggan pulang – sibuk bermain-main bersama peri-peri dalam mimpinya.

“Selamat pagi,” kugambar senyum tipis di bibirku, “ kubuatkan sarapan dulu untukmu, Sayang.”

Sarapan sudah siap. Sepotong roti bakar dengan selai kacang sebagai isiannya, lengkap dengan segelas susu murni sudah tersaji di atas meja. Barangkali, aku memang diciptakan sebagai pria yang penuh perhatian. Suami yang romantis. Aku menggendong tubuhnya dari tempat tidur menuju  meja makan. Mungkin, sekali lagi karena aku adalah pria yang romantis.

“Makanlah! Selagi hangat,” kataku mesra penuh harap.

Kugunakan garpu dan sebilah pisau, untuk memotong roti di hadapannya. Aku menyuapinya. Aku suami yang pengertian. Perlahan bulir-bulir air jatuh di atas piringku. Deras.

“Aku mencintaimu,” tanganku bergetar. Sendok, garpu, potongan roti – semuanya jatuh pun hatiku, pun air mataku. Deras sekali.

Lima tahun bukanlah waktu yang pendek dalam membangun rumah tangga. Meski masih belum sempurna, tanpa buah hati di dalamnya. Aku begitu mencintainya. Aku bahagia bersamanya, berharap selamanya. Namun segalanya telah berubah. Sejak leukimia itu terus menggerogotinya.

“Perlu suntikan formalin lagi, Sayang?” tanyaku, sembari berusaha tegar dan tersenyum sesekali. Aku tak mau istriku ikut sedih.

Dengan begini aku masih bisa melihatnya. Secara nyata, setidaknya.

 NB ; 
* Jumlah kata 200 belum termasuk judul.
*Terinpirasi lagu ( The Script - The Man Who Can't Be Moved )
I know it makes no sense
But what else can I do
How can I move on
when I'm still in love with you
~

Kediri, 19 Januari 2015




0 comments:

Post a Comment