“Selamat pagi,” kugambar
senyum tipis di bibirku, “ kubuatkan sarapan dulu untukmu, Sayang.”
Sarapan sudah
siap. Sepotong roti bakar dengan selai kacang sebagai isiannya, lengkap dengan
segelas susu murni sudah tersaji di atas meja. Barangkali, aku memang
diciptakan sebagai pria yang penuh perhatian. Suami yang romantis. Aku
menggendong tubuhnya dari tempat tidur menuju meja makan. Mungkin, sekali lagi karena aku
adalah pria yang romantis.
“Makanlah!
Selagi hangat,” kataku mesra penuh harap.
Kugunakan garpu
dan sebilah pisau, untuk memotong roti di hadapannya. Aku menyuapinya. Aku
suami yang pengertian. Perlahan bulir-bulir air jatuh di atas piringku. Deras.
“Aku
mencintaimu,” tanganku bergetar. Sendok, garpu, potongan roti – semuanya jatuh
pun hatiku, pun air mataku. Deras sekali.
Lima tahun
bukanlah waktu yang pendek dalam membangun rumah tangga. Meski masih belum
sempurna, tanpa buah hati di dalamnya. Aku begitu mencintainya. Aku bahagia
bersamanya, berharap selamanya. Namun segalanya telah berubah. Sejak leukimia
itu terus menggerogotinya.
“Perlu suntikan
formalin lagi, Sayang?” tanyaku, sembari berusaha tegar dan tersenyum sesekali.
Aku tak mau istriku ikut sedih.
Dengan begini
aku masih bisa melihatnya. Secara nyata, setidaknya.
NB ;
* Jumlah kata 200 belum termasuk judul.
*Terinpirasi lagu ( The Script - The Man Who Can't Be Moved )
I know it makes no sense
But what else can I do
How can I move on
when I'm still in love with you ~
But what else can I do
How can I move on
when I'm still in love with you ~
Kediri, 19 Januari 2015
0 comments:
Post a Comment