Monday, January 26, 2015

Ulang Tahun Pernikahan yang Kedua


Dua tahun lalu aku  menikah, dengan seorang pujangga. Dia seorang pria berparas tampan, perawakannya tinggi tegap, kulitnya sawo matang. Sebenarnya tak ada yang begitu spesial darinya. Hanya saja, di malam pertama aku melihatnya aku langsung terpana. Bukan cinta pada pandangan pertama, lebih tepatnya cinta pada pendengaran pertama. Malam itu, ia membacakan sajak keras-keras di atap rumahnya – aku tak sengaja mendengarnya. Sajak tentang sebuah penantian. Sajak yang akan membuat daun-daun telinga terasa segar. Sajak yang akan membuat semua hati bergetar. Aku jatuh cinta pada seorang pujangga kesepian.

Jika benar mencintainya adalah suatu dosa, maka biarkanlah maut jadi sanksinya. Sejak malam itu, aku sering diam-diam mengawasinya. Tiap malam. Telinga dan jiwaku haus akan sajak-sajak yang dilantunkannya. Sajaknya kerap kali membuatku iba, hingga membuatku bercucuran air mata. Keputusanku bulat, aku akan menjadi pendamping yang selalu dinantikannya. Aku akan jadi bidadari yang melepaskannya dari belenggu kesendirian.

            Kami hidup bahagia.  Ada tawa di mana-mana. Mulai dari ruang tamu, kamar mandi, kamar tidur, hingga atap rumah tempat kesukaan kami berdua. Tiap malam, sebelum tidur dia selalu membacakan sebuah sajak spesial untukku. Bukan sajak penantian lagi, melainkan sajak-sajak cinta yang penuh dengan puja-puja. 
 
            Belum genap setahun usia pernikahan kami , Tuhan murka. Seorang bidadari tak layak menikah dengan anak manusia. Sebuah dosa. Aku pun ditarik paksa ke angkasa. Tapi aku percaya Tuhan itu Maha Cinta.

Tuhan pun luluh, mendengar doa-doa yang kami panjatkan. Tuhan iba dengan kesetiannya. Dan malam ini, adalah malam ulang tahun pernikahan kami yang kedua.  Tuhan memberi kado istimewa, seharian ini kami boleh tinggal bersama.




NB: dikembangkan dari sebuah fiksimini.
ULANG TAHUN PERNIKAHAN YANG KEDUA. Tuhan memberi kado istimewa, seharian ini kami boleh tinggal bersama.


Kediri, 26 Januari 2015

Surat Cinta untuk Monday FlashFiction


Teruntuk MFF kesayangan,

Salam hangat dariku untukmu. Di hari berbahagia ini, mungkin aku tak bisa memberikanmu sesuatu yang lebih selain sebuah ucapan. Ucapan ulang tahun tentunya. 

Ya, meski belum lama tinggal tapi aku sudah merasa memilikimu. Jadilah rumah yang kokoh bagi kami. Rumah yang selalu melahirkan orang-orang luar biasa. Rumah yang tak hanya sekadar tempat singgah, namun sebagai rumah untuk belajar dan berkarya bersama. Rumah yang menyatukan kami tak hanya sebagai rekan tapi juga keluarga.

Semoga tetap menjadi rumah sederhana, namun membuat nyaman penghuninya. Semoga panjang umur dan sukses selalu. Sekali lagi kuucapkan selamat ulang tahun rumah kesayanganku, Monday FlashFiction. 

With love,
 

Widiarsa
 
 
Kediri, 26 Januari 2014 
Posted on by Unknown | 5 comments

Monday, January 19, 2015

Pria yang Setia


Aku mengecup keningnya, lembut. Menyibak rambutnya, penuh rasa cinta. Matanya masih memejam. Begitu dalam. Mungkin ia masih enggan pulang – sibuk bermain-main bersama peri-peri dalam mimpinya.

“Selamat pagi,” kugambar senyum tipis di bibirku, “ kubuatkan sarapan dulu untukmu, Sayang.”

Sarapan sudah siap. Sepotong roti bakar dengan selai kacang sebagai isiannya, lengkap dengan segelas susu murni sudah tersaji di atas meja. Barangkali, aku memang diciptakan sebagai pria yang penuh perhatian. Suami yang romantis. Aku menggendong tubuhnya dari tempat tidur menuju  meja makan. Mungkin, sekali lagi karena aku adalah pria yang romantis.

“Makanlah! Selagi hangat,” kataku mesra penuh harap.

Kugunakan garpu dan sebilah pisau, untuk memotong roti di hadapannya. Aku menyuapinya. Aku suami yang pengertian. Perlahan bulir-bulir air jatuh di atas piringku. Deras.

“Aku mencintaimu,” tanganku bergetar. Sendok, garpu, potongan roti – semuanya jatuh pun hatiku, pun air mataku. Deras sekali.

Lima tahun bukanlah waktu yang pendek dalam membangun rumah tangga. Meski masih belum sempurna, tanpa buah hati di dalamnya. Aku begitu mencintainya. Aku bahagia bersamanya, berharap selamanya. Namun segalanya telah berubah. Sejak leukimia itu terus menggerogotinya.

“Perlu suntikan formalin lagi, Sayang?” tanyaku, sembari berusaha tegar dan tersenyum sesekali. Aku tak mau istriku ikut sedih.

Dengan begini aku masih bisa melihatnya. Secara nyata, setidaknya.

 NB ; 
* Jumlah kata 200 belum termasuk judul.
*Terinpirasi lagu ( The Script - The Man Who Can't Be Moved )
I know it makes no sense
But what else can I do
How can I move on
when I'm still in love with you
~

Kediri, 19 Januari 2015




Wednesday, January 14, 2015

#FFRabu - Terbunuh Rindu



Sudah lebih dari lima tahun, kau tak pulang ke Desa. “Lebaran tahun ini aku harus pulang,” katamu. Anak dan istrimu sudah mengharapkan kepulanganmu. 

Upahmu sebagai buruh bangunan di Kota tak seberapa. Sebulan sekali, lewat Kantor Pos kau mengirim surat beserta sebagian upahmu untuk kebutuhan mereka.

Tapi kerasnya hidup di Kota mulai membuatmu putus asa. Gaji tak seberapa, belum lagi didera rindu keluarga yang kian menyiksa.

Tak seperti biasa, kulihat dirimu setiap hari rajin ke Kantor Pos. Kau membawa kotak-kotak paketan berbalut selotip cokelat. Mungkin kau sudah banyak duit sekarang.

         “Ini yang terakhir,” katamu sembari memberikan kardus yang berisi kepalamu sendiri.




#FF100Kata
Kediri, 14 Januari 2014