Dua tahun lalu
aku menikah, dengan seorang pujangga. Dia
seorang pria berparas tampan, perawakannya tinggi tegap, kulitnya sawo matang. Sebenarnya
tak ada yang begitu spesial darinya. Hanya saja, di malam pertama aku melihatnya
aku langsung terpana. Bukan cinta pada pandangan pertama, lebih tepatnya cinta
pada pendengaran pertama. Malam itu, ia membacakan sajak keras-keras di atap
rumahnya – aku tak sengaja mendengarnya. Sajak tentang sebuah penantian. Sajak
yang akan membuat daun-daun telinga terasa segar. Sajak yang akan membuat semua
hati bergetar. Aku jatuh cinta pada seorang pujangga kesepian.
Jika benar
mencintainya adalah suatu dosa, maka biarkanlah maut jadi sanksinya. Sejak
malam itu, aku sering diam-diam mengawasinya. Tiap malam. Telinga dan jiwaku
haus akan sajak-sajak yang dilantunkannya. Sajaknya kerap kali membuatku iba,
hingga membuatku bercucuran air mata. Keputusanku bulat, aku akan menjadi
pendamping yang selalu dinantikannya. Aku akan jadi bidadari yang melepaskannya
dari belenggu kesendirian.
Kami
hidup bahagia. Ada tawa di mana-mana.
Mulai dari ruang tamu, kamar mandi, kamar tidur, hingga atap rumah tempat
kesukaan kami berdua. Tiap malam, sebelum tidur dia selalu membacakan sebuah
sajak spesial untukku. Bukan sajak penantian lagi, melainkan sajak-sajak cinta
yang penuh dengan puja-puja.
Belum
genap setahun usia pernikahan kami , Tuhan murka. Seorang bidadari tak layak
menikah dengan anak manusia. Sebuah dosa. Aku pun ditarik paksa ke angkasa. Tapi
aku percaya Tuhan itu Maha Cinta.
Tuhan pun luluh,
mendengar doa-doa yang kami panjatkan. Tuhan iba dengan kesetiannya. Dan malam
ini, adalah malam ulang tahun pernikahan kami yang kedua. Tuhan memberi kado istimewa, seharian ini kami
boleh tinggal bersama.
ULANG TAHUN PERNIKAHAN YANG KEDUA. Tuhan
memberi kado istimewa, seharian ini kami boleh tinggal bersama.
Kediri, 26 Januari 2015