Sudah tiga tahun kami menjalani hubungan ini. Leny, sosok
gadis sempurna idaman para pria. Matanya sayu, hidungnya mancung, rambutnya
hitam legam tak panjang hanya menjuntai hingga sebatas pundak, bibirnya mungil
kemerahan, kulitnya putih bersih. Belum lagi tutur lembut dan rasa sayang yang
begitu tulus dari dalam hatinya. Aku tak bilang ia bagaikan bidadari yang turun
dari Surga, namun jika kau ingin melukiskannya demikian, ya tak apa. Sungguh
tak akan rela aku kehilangannya. Begitu beruntungnya aku bisa memilikinya.
Lelaki mana yang tak iri melihatku berjalan bersamanya.
Aku akan selalu berusaha membuatnya tersenyum, aku tak rela
jika harus melihatnya terpuruk oleh kesedihan dan merenung dalam kepedihan.
Mendapatkannya saja sudah setengah mati, apalagi jika harus kehilangannya
bisa mati aku. Aku tak akan rela membiarkan air matanya yang berharga jatuh
menetes di pipinya. Seberat apapun yang harus aku lakukan, asal dia bahagia akan kulakukan. Aku begitu mencintainya. Ini semua karena cinta.
Seikat mawar merah adalah kembang yang paling ia suka. Aku
ingat seikat mawar yang kubawakan pertama kali untuknya, pipinya merah merona,
tak kalah merah dengan mawar merekah yang kubawa. Aku begitu bahagia saat itu,
karna berhasil membuat lidahnya kelu. Ia hanya tersenyum malu-malu lalu
memelukku. Hatiku melayang, rasa senang yang membuatku terus terbayang-bayang.
Sejak saat itu, sudah tiga tahun pula, setiap sore, setiap hari saat aku
bertemu dengannya tak pernah terlewatkan setangkai mawar merah. Meski tak selalu seikat, namun pasti akan kubawakan mawar merah itu untuknya.
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Bukan hari yang spesial
menurutku, karena tiap hari adalah spesial buatku, itu karena dia yang selalu
ada menghiasi hari-hariku. Aku tak berharap sebuah kado istimewa darinya, bisa
melihat senyumnya saja sudah lebih dari cukup untukku. Senyumnya selalu
bangkitkan semangatku, senyumnya selalu sanggup teduhkan dan tenangkanku dalam tiap alang rintang kerap datang mengusik ketenangan hidupku.
Seikat bunga telah kusiapkan untuknya, berharap aku
mendapat senyum yang tiada taranya. Ternyata ini adalah sore yang berbeda, kali
ini aku tak datang sendiri. Berpuluh-puluh orang telah berdiri sedari tadi, baik di dalam maupun di teras depan rumahnya.
“Maaf hanya ini yang bisa aku berikan,” kataku lirih di
sampingnya. “Kubawakan seikat mawar merah kesukaanmu. Kamu suka kan?”
Kusandingkan seikat mawar merah itu tepat di lengan kirinya. Kulihat senyumnya
merekah manis. Air mata yang ingin kusimpan kini jatuh perlahan, pipinya basah.
Percuma tak berubah, ia hanya tersenyum meski matanya telah memejam tuk
selamanya. Kadoku hari ini istimewa darinya, sebuah peti kayu berisi jasad yang
sudah tak bernyawa. Pagi tadi sebuah mobil tak hanya berhasil merenggut
nyawanya namun juga merenggut kebahagiaan yang kupunya.
Malang, 2013
© 2014 by W.U. Widiarsa. All rights reserved